Jika saja kantong Doraemon itu benar-benar ada. Aku mau punya satu, lalu pergi dari rumah ini lewat pintu ajaib.
Pak Roland memang kejam. Semalam, gara-gara kami gagal menikah karena persiapannya tidak mungkin selesai dalam waktu sesingkat itu, aku tidak boleh pulang ke kost-an. Dia bilang, aku sudah masuk ke dalam daftar anggota keluarganya. Jadi tidak boleh tinggal di tempat sembarangan.
Idih, apaan?! Dia itu yang sembarangan. Sudah asal mengklaim aku sebagai keluarga, terus tidak membolehkan keluar dari rumah dia seenaknya.
Namun, di luar semua masalah itu, aku baru tahu. Pak Roland sebenarnya penyayang keluarga. Hanya saja, sifat dingin saat di kafe, serta ketidakhadiran wanita di sisinya, membuat dia terlanjur dicap sebagai lelaki kaya tapi sombong. Angkuh, dan tidak tersentuh. Sudah begitu, jarang senyum juga. Itulah yang bikin dia dicap sebagai lelaki belok. Paket lengkap deh pokoknya.
Hari ini kulihat dia tersenyum sama papanya. Lumayanlah. Walau masih manisan senyumnya Akbar.
Ngomongin Akbar, aku jadi tidak bisa berhenti untuk membandingkan kakak beradik itu. Akbar ramah banget, beda seratus delapan puluh derajat sama pak Roland. Seperti bukan saudara gitu. Bahkan, demi persiapan pernikahan kami dia rela buat pulang dari rumah sakit lebih cepat, biar yang lain tidak harus sibuk jenguk, katanya. Sekarang, dia harus istirahat di kamar, tidak bisa ke mana-mana. Jalannya saja pincang.
"Tita, apa kamu benar-benar tidak punya saudara sama sekali?" Papa bertanya ketika kami selesai sarapan. Pak Roland pun sudah berangkat kerja beberapa menit yang lalu. Selain punya kafe, dia juga mengurus usaha mable papanya. Sejauh ini, hanya dua aset itu yang kutahu tengah ditangani Pak Roland. Tapi aku yakin, masih ada banyak usaha milik mereka. Dilihat dari rumah juga beberapa kendaraan mewah yang kulihat secara langsung.
"Ada, sih, Pa. Tante dari pihak almarhumah Mama. Tapi kami sudah lama hilang kontak. Kabar terakhir yang kudengar, beliau tinggal di luar negeri."
Ya, memang, aku sebatang kara sekarang. Tanteku sudah lama pergi sejak Papa menikah lagi. Tante tidak suka dengan mama tiriku. Katanya, Mama hanya mengincar harta Papa. Tapi Papa tidak peduli sama omongan Tante. Dikira, Tante itu hanya tidak rela jika Papa menikah lagi. Benar saja, selama menikah dengan Papa, Mama itu boros. Papa yang capek kerja, tapi Mama tidak berhenti menghamburkan uang percuma. Sampai pada akhirnya, ketika Papa berada di titik terendah, Mama pergi.
Kalau sudah begitu, aku tidak mungkin, kan, datang dan mengadu ke Tante? Sudah terlalu malu.
Papa menghela napas, lalu tersenyum. Kayaknya dia merasa kasihan gitu sama aku.
"Ya sudah, biar Roland yang urus semua, ya. Kamu santai saja di sini. Mulai sekarang, ini rumahmu juga," kata Papa. Aku diam saja, tapi di dalam hati sebenarnya terharu banget.
"Makasih, Pa. Oh, ya, Akbar belum makan, ya. Tita anterin sarapan dia, boleh?" Tidak tahu kenapa, sejak pertama kali ketemu Akbar, aku sudah merasa nyaman saja dengan dia. Beda sama kakaknya.
"Boleh." Papa menyahut singkat. Aku pun segera menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Setelah selesai, segera menuju kamar Akbar yang bersebelahan dengan kamar tamu yang kutempati.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" seruan dari dalam menyambut ketukan pintuku.
"Tita?" Akbar yang tadinya tiduran, langsung mengubah posisi menjadi duduk.
"Sarapan dulu," kataku. Lalu berjalan mendekati ranjangnya. "Udah bisa duduk?" tanyaku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...