Aku terbangun, merasakan kering di tenggorokan. Lalu tersadar, saat ini tengah tidur di kamar.
Seingatku, tadi sedang berada di meja makan ruang dapur, menunggu Mas Roland pulang untuk makan malam. Apakah aku ketiduran? Lantas, siapa yang membawaku ke kamar? Suatu kemustahilan jika itu Mas Roland. Lalu, siapa?
Tepat ketika turun dari tempat tidur, kulihat ponselku yang tertinggal di vila sudah berada di atas nakas. Otakku semakin berpikir keras, siapa yang membawa ponsel serta diriku ke kamar?
Daripada sibuk berpikir, lebih baik kutolong tenggorokanku yang kering kerontang. Mungkin karena makanan ringan yang kumakan sore tadi terlalu banyak, sebab menghindari nasi agar bisa makan malam bersama Mas Roland.
Lampu tengah masih menyala, begitu pun dapur. Kurasa, Mas Roland sudah pulang, jam di dinding menunjukkan angka sebelas lewat lima menit.
Posisi dapur yang berada di sayap kiri, membuatku harus memutari ruang tengah dan ruang keluarga. Sudah kukatakan, rumah ini terlalu besar. Mungkin sebaiknya aku membuat dapur mini di lantai atas. Supaya tidak terlalu ribet naik turun, belok kanan dan kiri.
Sesosok lelaki terlihat tengah duduk di meja bar. Posisinya yang membelakangiku masih tetap membuatku mengenalinya. Dia bukan Mas Roland.
"Akbar?"
Akbar menoleh, lalu tersenyum.
"Woah. Benar, kamu. Ngapain di sini? Mas Roland mana? Kok, aku nggak tau kamu datang?" tanyaku, secara beruntun.
"Itu bibir, atau perosotan?" Akbar terkekeh. "Nanya satu-satu."
Aku nyengir, lalu duduk di sebelahnya. Sudah kuduga, aku harus menaiki besi bagian bawah untuk bisa mendudukinya. Di depan Akbar, sudah ada secangkir kopi yang sudah tidak mengeluarkan asap.
"Kapan sampai?" Pada akhirnya, hal itu yang lebih dulu kutanyakan. Sembari menuang air ke dalam gelas, lalu meneguknya dengan perlahan.
"Dua jam yang lalu."
"Mas Roland?"
"Belum pulang."
"Oh ... eh? Terus, yang membawaku ke kamar, siapa?"
"Munurutmu?" Akbar tersenyum miring. Sejak awal, dia memang manis. "Kamu tidur mirip orang mati."
"Sudah kuduga, karena tidak mungkin Mas Roland. Berdekatan aja nggak mau. Apalagi sampai mengangkat tubuhku?"
"Lain kali, nggak perlu nungguin dia kalau mau makan. Pulangnya sudah pasti larut malam. Dia sibuk."
Aku menghela napas. Mengingat masakanku tadi sore yang belum tersentuh sama sekali.
Niatku tak lain dan tak bukan, hanya ingin menjalankan peranku saja.
"Ayamnya enak," katanya. Aku mengernyit, lalu menoleh ke meja makan. Baru menyadari jika makanan yang tadi kuhidangkan di sana sudah raib tanpa sisa.
"Kamu tadi makan?"
"Iya. Mubazir, kan?"
"Ck! Dasar! Aku juga belum makan tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...