Mau triple up, nih. Maaf, ya, kalau cerita ini belum nyampai klimaksnya. Karena juga sebenernya aku nulis cerita ini untuk memaksa ideku yang beneran beku. Aku ngalamin yang namanya writer's block. Jadi, ada kemungkinan cerita ini bakalan kurevisi sambil jalan.
Happy reading .... ❤️
Mas Roland benar-benar ke luar kota. Kejadian di ruang gym saat itu merupakan kali terakhir kami berbicara. Tidak ada pesan singkat apalagi telepon. Kami bahkan hampir tidak pernah menghubungi satu sama lain lewat alat canggih tersebut.
Tiga hari di rumah seorang diri bukanlah hal yang menyenangkan. Meski di dalam sini, aku tidak kekurangan suatu hal apa pun. Nyaman, dan yang lebih penting adalah kenyang.
Satu hal yang tidak kudapati saat ini, yakni seorang teman. Selama ini aku berinteraksi dengan orang di sekelilingku hanya sewajarnya saja. Mungkin karena keadaanku yang jauh dari kata tercukupi, membuat mereka juga enggan untuk mengakrabkan diri. Khawatir aku meminjam uang, barangkali?
Untuk mengusir bosan, aku memilih untuk datang ke kafe tempatku dulu bekerja. Entah kenapa tempat itu yang terpikirkan pertama kali ketika ingin keluar dari rumah. Mungkin dengan bertemu Bu Sena, aku jadi punya teman mengobrol. Terakhir saat resepsi pernikahan, aku belum pernah lagi bertemu dengan beliau.
Tiba di dalam kafe, kuedarkan pandangan ke sekililing. Ada perubahan dari furniturenya sejak terakhir kali aku bekerja di sini. Beberapa hiasan di dinding, serta warna meja dan kursi yang jadi lebih berwarna. Juga beberapa tanaman hias yang diletakkan di sudut ruangan. Kuakui, suasananya menjadi lebih adem dan nyaman.
"Tita?" Dari arah belakang, kudengar seseorang memanggilku dengan suara yang cukup familier. Benar saja, ketika menoleh, kudapati Akbar berdiri tegap di sana. Dengan pakaian formal yang membungkus tubuhnya.
"Akbar? Kamu, ngapain di sini?"
"Kerja." Akbar meringis, menampakkan barisan giginya.
"Hah, kerja? Di sini?" Aku menggaruk belakang telingaku. Sejak kapan Akbar bekerja di kafe ini?
"Ayo, masuk. Kita bicara di dalam." Tanpa segan Akbar menarik tanganku untuk mengekorinya.
Para karyawan mengangguk dan menyapa kami. Beberapa di antaranya yang dulu sangat tak acuh padaku, tapi kali ini mereka sangat ramah. The power of money. Aku sudah menjadi istri dari pemilik kafe ini. Tentu saja mau tidak mau mereka tunduk dan hormat.
"Tumben kamu ke sini?" Akbar mengajakku duduk di sofa di ruang kerja milik Mas Roland. Semakin membuatku kebingungan. Kenapa Akbar di sini?
"Eh, itu. Aku kangen aja sama Bu Sena."
"Bu Sena? Oh, dia izin cuti sejak dua hari yang lalu. Suaminya sedang sakit."
"Oh. Gitu. Terus, kamu ngapain di sini? Gantiin Mas Roland buat ngurus kafe?"
Akbar mengangguk. "Udah lama, sih. Sejak kalian menikah, kafe ini aku yang pegang. Kak Roland ngurusin kantor Papa sama pabrik."
"Oh?" Aku cuma cengo. Tidak tahu menahu soal kafe yang dipindah pengurusannya ke Akbar. Memang apa yang kuharapkan? Mas Roland bercerita tentang itu semua kepadaku? Tidak mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Roman d'amour18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...