18

927 92 11
                                    

Bukan perkara sulit untukku memulai mengakrabkan diri dengan Mas Roland. Pada dasarnya aku itu memang memiliki sifat supel yang mudah bergaul.

Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dulu, temanku tidak terhitung jumlahnya. Hanya saja, secara perlahan mereka mulai menjauh ketika kami lulus SMA dan aku terlilit banyak hutang.

Tidak ada satu orang pun yang benar-benar menganggapku sahabat. Mereka lengket saat aku meroket. Lalu menghilang di saat aku tumbang. Mengenaskan, memang.

Hidup sebatang kara karena menjadi anak tunggal itu benar-benar tidak enak. Diperparah dengan almarhum Papa yang juga anak tunggal, lalu almarhumah Mama yang hanya memiliki satu saudara, itu pun sekarang berada jauh dariku.

Aku mulai berrencana, ketika memiliki anak kelak, tidak cukup jika hanya dua. Setidaknya tiga atau empat, agar anak-anakku banyak saudaranya.

"Kalau minum jangan sambil melamun. Nanti kerasukan, kan, bisa tersedak." Bisikan Akbar di belakang telingaku kontan, membuatku benar-benar tersedak.

"Ash!! Kamu tuh, setannya!" Kupukul bahu Akbar dalam sisa batukku.

Akbar tertawa, sembari menarik kursi di sebelahku. Tanpa terasa, sejak selesai masak tadi, posisiku masih di meja makan. Dengan secangkir kopi susu yang menemani. Menunggu kepulangan Mas Roland untuk makan malam.

"Lagian, kamu asyik melamun dari tadi, sampai aku berulang kali memanggil dari depan tidak ada yang menyahut."

"Di mana-mana, orang bertamu itu mencet bel, nunggu dibukain pintu. Kamu, mah, seenaknya aja masuk ke rumah orang." Sejak awal kepindahanku ke rumah ini, Akbar memang bebas keluar masuk semaunya. Bahkan sepertinya dia memiliki kunci rumah ini.

Pernah, seingatku pintu sudah kukunci ketika aku di halaman belakang. Tiba-tiba saja Akbar masuk dengan dalih sudah lelah memanggil tapi tidak ada jawaban. Sebegitunya Papa berniat menjadikan Akbar sebagai pelindungku dari anak sulungnya sendiri. Ckck.

"Heh. Itulah keuntunganmu sebenarnya. Kalau aku mesti memakai cara seperti orang untuk masuk ke rumah ini, bisa jadi sewaktu kamu mau ditampar sama Kak Roland waktu itu, aku datangnya terlambat. Benar, tidak?" Akbar menaik turunkan kedua alisnya. Dia memang sering berubah sifat dari lelaki dewasa menjadi orang yang tengil dan menyebalkan. Ngapain juga membahas hal lama yang ingin kulupakan itu?

"Apaan, sih. Malah bahas itu." Aku mencebik, lalu menyeruput kembali kopi susuku.

"Eh, ngomongin itu, ke mana Kak Roland? Belum pulang?" Akbar mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Belum. Ini aku lagi nungguin buat makan malam."

"Hah? Kamu belum makan malam?" Akbar menilik jam di pergelangan tangannya. "Ini sudah jam delapan, Tita. Pasti Kak Roland juga sudah makan di luar. Kamu makan aja, gih."

"Ck. Padahal, aku cuma pengen lebih deket aja, makanya nungguin dia pulang kerja buat makan malam bareng." Ini adalah kali pertama aku memasak makan malam dan menunggu suamiku pulang. Entahlah, rasanya feelingku berkata, untuk mulai pendekatan bisa melalui masakan.

"Bagus. Jadi kamu benar-benar berniat untuk mendekati kakakku? Terima kasih, Tita."

"Mau gimana lagi. Emang aku punya pilihan?"

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang