first kiss

1.2K 106 23
                                        

Sorot lampu dari luar mengalihkan perhatianku dari serial kartun di televisi. Terdengar deru mobil Mas Roland masuk ke dalam garasi.

Entah sejak kapan, aku mulai hafal dengan suara mobil sport jenis porsche miliknya itu. Dan entah sejak kapan juga, aku mulai senang menunggu kepulangannya. Sekadar bahagia karena tidak lagi kesepian, atau memang rindu akan sosoknya? Entah. Itu semua masih terasa abu-abu.

"Mau mandi dulu, atau langsung makan, Mas?" tanyaku, setelah Mas Roland masuk dan mendekat ke pembatas ruang tamu dan ruang tengah.

"Mandi." Dia menjawab singkat. Memang seperti itulah perangainya. Bicara panjangnya hanya di saat tertentu. Tidak masalah, sih. Itu juga sudah lumayan.

Aku juga tidak perlu lagi bertanya apakah dia sudah makan atau belum, karena di jam seperti ini dia pasti langsung pulang dari kantor.

Sejak kejadian aku menangis dalam pelukannya beberapa waktu yang lalu, Mas Roland lebih sering mengajakku berbicara. Walau dalam ucapannya sesekali terselip ejekan, aku tetap menerima. Itu jauh lebih baik ketimbang awal pernikahan kami dulu. Di mana, dia yang selalu bersikap dingin dan cuek. Serta irit bicara. Kehangatan sikapnya perlahan mulai timbul. Apa itu artinya dia mulai nyaman denganku?

Akhir-akhir ini, aku dan Mas Roland rutin sarapan bersama. Makan malam juga. Walau tidak jarang kami makan dalam hening, tapi setidaknya dia selalu memakan masakan yang kubuat tanpa mencela. Itu sudah lumayan. Singkirkan dulu harapan dia akan memuji masakanku.

"Menu baru?" Mas Roland telah selesai mandi dan kini duduk berhadapan denganku di meja makan.

Dia melirik rawon di dalam panci multifungsi yang kubeli kemarin.

"He em." Aku mengambil nasi ke piring serta menyendok beberapa kali kuah rawon untuknya. "Mas suka rawon, kan?" tanyaku kemudian. Karena sejauh ini, dia tidak pernah menolak apa pun yang kumasak.

Mas Roland mengangguk, lalu mulai menyantap rawon daging sapi perdana buatanku.

"Gimana? Enak?" Harap cemas kutunggu pendapatnya. Aku sudah mirip ibu rumah tangga beneran sekarang. Sarapan dan makan malam Mas Roland kini aku yang membuatkan. Dia bahkan mengizinkan aku mencuci pakaiannya kecuali celana dalam. Iyalah. Aku juga malu untuk mencuci benda pusakanya itu.

"Lumayan," jawabnya. Setelah menyeruput kuah rawon. "Tidak buruk," lanjutnya lagi, saat daging sapi yang juga turut masuk ke dalam mulutnya.

Setelah itu, kami makan dalam keadaan hening. Karena terakhir kali aku terus bicara saat makan, Mas Roland bilang, ketika makan seharusnya kita itu diam. Jangan banyak bicara. Bisa-bisa tersedak.

Saat itu aku sempat bandel, hingga akhirnya benar-benar tersedak kuah sayur lodeh yang pedas. Peristiwa itu berakhir dengan pelototan tajam Mas Roland padaku.
Beda Akbar, beda pula Mas Roland. Kalau Akbar yang saat itu berada di depanku, dia pasti akan tertawa meski membantu.

"Besok malam kamu tidak perlu masak."

"Hah?" Aku yang masih fokus mengunyah tiba-tiba dilarang memasak lagi untuk besok.

"Engh ... kenapa? Apa masakanku nggak enak?" Kugigit bibir bawah, menahan rasa kecewa jika pelayananku gagal.

"Bukan." Mas Roland menyeka bibirnya dengan tisu. Dia sudah selesai makan. Piringnya tampak bersih mengilat. Berarti masakanku enak, 'kan?

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang