Delapan

1K 97 14
                                        

Semangkuk sup ayam mulai menghilang asapnya. Cacing di perutku juga mulai berdemo. Mas Roland masih belum bangun. Tadi aku sempat mencoba untuk membangunkan dia. Mengguncang tubuh serta menarik selimutnya. Akan tetapi, itu sia-sia. Dia tidur mirip kayak orang meninggal.

Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh menit. Padahal biasanya, aku selalu makan tepat waktu dikarenakan asam lambungku yang sering kambuh. Kali ini saja, demi untuk sarapan bersama dia, aku bernegosiasi dengan perutku sendiri.

Kuhembuskan napas dalam-dalam, menatap nasi goreng berhiaskan telur ceplok yang merupakan menu sarapan untukku. Sepertinya, aku tidak akan sanggup menunda lagi rasa lapar. Daripada nanti masuk ke rumah sakit gara-gara telat makan, lebih baik aku makan duluan.

Hingga beberapa saat kemudian, tepat ketika aku memasukkan suapan terakhir, Mas Roland keluar dari kamar. Ruang makan dan ruang tengah tidak bersekat dinding. Karenanya, dia akan terlihat dari tempatku duduk ketika keluar dari kamarnya yang berhadapan dengan ruang tengah tersebut.

Mas Roland sudah mandi, dan hanya memakai kaos santai dan celana bokser sebatas paha. Sempat terperanjat melihatku yang juga tengah menatapnya. Sepertinya dia lupa, kalau di rumah ini dia tidak sendirian. Ada aku, istri bohongannya. Walau begitu, aku akan selalu memperlakukannya sebagai suami sungguhanku. Disamping pernikahan kami ini sebenarnya sah di mata hukum dan agama, otomatis aku berkewajiban melayani dia sebagai istri. Ya, meskipun dianya tidak akan memperlakukanku sebaliknya. Tapi nggak apa-apa. Akan kubuat dia jatuh cinta padaku. Lihat saja nanti.

"Ehem." Aku berdeham, berusaha menutupi rasa gerogi, untuk berkata natural. "Kata Akbar, aku disuruh masakin sup buat Mas. Biar pusingnya reda."

Mas Roland memejamkan mata sebentar, lalu memijit pelipisnya. Aku baru tahu, kalau orang mabuk itu keesokan harinya akan sakit kepala. Bahkan, Mas Roland yang badannya kekar juga merasakan hal itu. Kupikir, dia  itu sejenis spesies yang tidak akan merasakan sakit. Para virus itu akan mati membeku sebelum menyentuh tubuhnya, dikarenakan sikap dingin Mas Roland.

Dia terlihat ragu mendekati aku. Lalu bertanya, "Mana Akbar?"

"Udah pulang. Dia nggak menginap semalam." Aku masih terus menatap matanya yang memerah. Meski masih ada aura dingin yang melekat, tapi dia berbeda dari biasanya. Saat ini wajahnya lebih mirip Papa. Yang ada kesan lembutnya. Dikit, sih. Nggak banyak. Kalau diperumpamakan, dia itu kayak bunglon, yang bisa berubah-ubah tampang.

Tanpa menjawabku lagi, dia menarik kursi di seberangku. Sembari menunjuk sup di depannya dia bertanya lagi. "Ini yakin, bisa dimakan?"

Astagaa. Dia sangat meremehkanku.

"Dan ini, apa?" Mas Roland mengamati piring kecil berisikan sambal buatanku. Aku menamainya sambal joss. Ketika masih mengontrak dulu, aku dan tetanggaku yang bernama Riri, sering masak bareng. Bikin sambel yang pedasnya level dua belas. Karena kebiasaan tersebut, membuat lambungku bermasalah. Tapi tentu kali ini sambal yang kubuat untuk Mas Roland tidak sepedas itu.

"Sambel. Enak, loh. Makan sup sama sambel. Mas tenang aja. Nggak kukasih racun, kok." Aku menajamkan setiap perkataan. Merasa kesal sudah diremehkan.

Mas Roland mengambil sendok dengan ragu-ragu.

"Eh, tunggu! Supnya udah dingin, biar kupanaskan dulu," ucapku.

"Nggak perlu. Aku suka sup dingin," jawabnya.

Oh, pantesan. Dimana-mana sup itu enaknya disantap saat hangat. Dia malah lebih suka dalam keadaan dingin. Cocok, lah, sama kepribadiannya.

Aku menunggu dengan antusias ketika dia mulai menyuap satu sendok kuah sup itu ke dalam mulutnya. Sedikit mengernyit, lalu dia mencecap setelah menelannya.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang