Akbar memijat kepalanya yang terasa sakit bukan main. Akhir-akhir ini otaknya sudah bekerja terlalu keras. Melampaui kapasitas yang seharusnya.
Bagaimana tidak? Dia diharuskan mengurus tiga perusahaan secara bersamaan. Meski dia memiliki asisten serta bawahan yang cukup mumpuni, tapi Akbar bukanlah tipe atasan yang akan dengan mudah memerintahkan bawahannya tanpa mau turun tangan secara langsung.
Berbeda dengan kakaknya, Roland. Saat ini lelaki itu tengah hibernasi dari pekerjaan. Semenjak kejadian yang menimpa dia dan Tita satu bulan lalu, Roland sudah mirip seperti kelelawar. Keluar hanya saat malam hari. Itu pun hanya untuk berkeliaran di kawasan klinik Fathan. Lalu siangnya, dia akan mengurung diri di dalam rumah.
Ketukan pintu membuat perhatian Akbar dari komputer teralih. "Masuk," titahnya.
Seorang lelaki berperawakan tinggi masuk. Membawa sebuah i-pad di tangannya.
"Maaf, Pak. Sore ini meeting diajukan menjadi pukul satu siang. Klien meminta perubahan jadwal secara mendadak." Lelaki yang menjadi sekretaris kedua setelah Juan itu menjelaskan.Semenjak kejadian penculikan Tita bulan lalu, Juan dan juga Leo tidak pernah menampakkan diri lagi. Keduanya kabur setelah mendengar kabar akan dituntutnya mereka berdua atas penculikan Tita. Bukannya Wirya tidak mampu melacak keduanya. Akan tetapi Akbar yang melarang sang papa untuk memenjarakan Leo dan juga Juan sekarang. Bukannya tanpa alasan, tapi untuk menangkap mereka berdua, tentu dibutuhkan kesaksian dari Tita. Sedangkan Tita sendiri sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Baik. Siapkan semua keperluan. Saat jam makan siang saya akan pulang sebentar, lalu langsung menuju tempat pertemuan. Kamu bisa datang duluan. Saya akan menyusul begitu urusan di rumah selesai." Akbar menjawab dengan sedikit lesu.
Tampak kantung mata yang kini mengurangi kadar ketampanannya. Semua ini gara-gara Roland. Akbar tidak jarang menggerutu soal itu.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi." Sekretaris itu pamit undur diri, yang dibalas anggukan oleh Akbar.
Sepeninggal lelaki itu, Akbar menyelesaikan beberapa ketikan di komputernya, lalu mematikan. Setelah memastikan semua keperluannya sudah dikantongi, Akbar meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar.
Masih tiga puluh menit sebelum waktu makan siang, tapi Akbar memutuskan untuk langsung pulang. Pagi tadi sesampainya ia di kantor, Wirya memberi kabar jika sudah saatnya Akbar berbicara pada Roland. Karena sejauh ini Wirya membiarkan Roland, anak sulungnya itu bukan bertindak cerdas, malah justru semakin terlihat bodoh. Mengintai Tita dari kejauhan selama berminggu-minggu. Tanpa berani untuk sekadar mendekat.
Roland merindukan Tita. Dia hancur sekarang. Wirya tahu itu. Karena sekarang Roland terlihat seperti orang tuna wisma. Berantakan. Tidak peduli dengan penampilan dan lingkungan sekitar. Padahal, dulu sewaktu patah hati karena Audrina, Roland gila kerja. Sekarang, justru kebalikannya. Akbar sering merasa ingin membenturkan kepala Roland agar lelaki itu sadar.
***
Di rumah Wirya, kini Roland tengah duduk seorang diri di halaman belakang. Menatap burung peliharaan sang papa yang berkicau riang di dalam sangkar. Tiba-tiba saja dia teringat dengan Tita. Wanita mungil yang periang, energik, serta banyak bicara itu tiada henti membayangi pikirannya.
Selama hidup, satu bulan belakangan merupakan hal terkelam yang ia rasakan. Roland baru tahu bagaimana rasanya saat merindukan seseorang, tapi tidak bisa menemui karena khawatir orang yang dirindukan akan terluka. Mengingat bagaimana histerisnya Tita di rumah sakit saat itu, membuat dada Roland terus terasa sakit dan sesak jika mengingatnya.
"Burung itu mengingatkanmu pada Tita?" Secara tiba-tiba Wirya datang dari belakang Roland. Sejak tadi Roland dibiarkan menunggu sendiri, sedangkan Wirya sibuk di ruang kerja mengurus beberapa dokumen perusahaan. Harusnya saat ini Akbarlah yang menangani hal tersebut. Tapi gara-gara Roland, pekerjaan Akbar jadi dilimpahkan kepada Wirya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Roman d'amour18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...