Sepiring nasi goreng menjadi menu sarapanku pagi ini. Menikmatinya suap demi suap dengan lahap. Sendirian.
Selepas sarapan aku pun bersiap, membersihkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Semalam, aku meninggalkan Akbar hampir pukul satu. Itu pun saat dia tengah tertidur.
Niat hati untuk tidak lagi peduli. Tapi entah kenapa, jiwa ketidaktegaanku menuntut untuk menjenguk. Ya, walaupun aku tahu dia tidak akan sendirian. Semalam aku sudah menghubungi keluarganya lewat ponsel yang dengan terpaksa kuambil dari saku celananya. Masih teringat jelas betapa risih dan serba salahnya aku semalam.Khusus hari ini aku meminta izin pada bu Sena untuk tidak masuk kerja. Biasanya, walau pun hari libur tetap bekerja.
Tuntutan hidup membuatku harus bekerja keras, menghasilkan pundi-pundi rupiah. Ada hutang besar yang hingga saat ini belum mampu kulunasi. Bukan hutangku, melainkan hutang almarhum papa.
Kebangkrutan usaha property membuatnya berhutang di mana-mana. Mama tiriku pergi meninggalkan kami. Papa frustasi, hingga membuatnya meninggal karena serangan jantung.Well! Secara otomatis, hutang ratusan juta itu aku yang menanggung. Semua harta benda yang kami miliki terjual untuk melunasi sebagian besar hutang tersebut. Sisanya, dari hasil kerjaku selama dua tahun belakangan.
Yap! Lulus bangku sekolah aku tidak melanjutkan kuliah. Boro-boro kuliah, setiap saat para debtcolector datang menagih janji atas hutang yang bertumpuk dengan bunga segudang. Semengenaskan itulah hidupku. Memang.Jarak tempuh ke rumah sakit tidak terlalu jauh. Cukup dua puluh menit aku sudah sampai. Suasana masih cukup sepi, karena memang masih pagi.
Beruntung Akbar berada di ruang VIP. Tidak ada batasan jenguk sama sekali.Langkahku terhenti di ujung koridor, ketika kulihat seseorang baru saja masuk ke dalam ruangan Akbar. Sosoknya seperti tidak asing bagiku. Lelaki berperawakan tinggi besar. Sangat familier.
Sebenarnya rasa khawatirku sudah berkurang, mengingat ada pihak keluarganya yang sudah datang. Tapi kakiku ternyata tidak sinkron dengan otak. Tahu-tahu, aku sudah berada tepat di depan pintu ruangan Akbar."Aku sudah bilang, kan, jangan berurusan sama Leo!"
"Kakak pikir, aku yang memulai? Ayolah! Aku hanya berusaha mengingatkan dia. Tapi memang dasar dia itu urakan."
"Cukup, Akbar!! Kamu tidak bosan, mencampuri urusanku?!"
Terdengar suara perdebatan di dalam sana. Tubuhku serasa menegang. Tanganku yang hendak mengetuk pintu menggantung di udara. Bukan karena perdebatan mereka, tapi karena suara lelaki yang dipanggil Akbar terdengar tidak asing bagiku.
Tidak. Jangan bilang kalau lelaki itu?"Tita?"
Oh, astagaa! Pintunya terbuka, dan benar dugaanku. Lelaki itu ternyata ... Pak Roland!!
"Emh ... Pak. Bapak, ngapain di sini?" Aku tergagap.
"Seharusnya saya yang bertanya. Ngapain kamu di sini? Tidak masuk kerja?" Pak Roland balik bertanya.
"Enggak, Pak," jawabku lagi.
Pak Roland mengangguk-angguk."Siapa, Kak?" Akbar memanggil dari dalam. Berarti benar dugaanku, Pak Roland ini kakaknya Akbar. Kebetulan sekali.
Pak Roland membuka pintu lebar-lebar, lalu menyingkir dari pintu."Kamu kenal sama dia?" tanyanya, sembari menunjukku dengan dagunya. Lalu mengalihkan tatapan ke Akbar.
"Oh, hay! Kamu ternyata. Aku menunggumu sejak tadi." Akbar menyapaku. Dapat kulihat Pak Roland mengernyitkan dahi. Kebingungan.
"Emh. I—iya. Kamu udah bangun?" Pertanyaan bodoh!!
Akbar tersenyum. Manis. Seperti yang kuduga, dia memang tampan. Bekas noda darah di wajahnya sudah hilang. Tinggal lebam di pipi dan sudut bibir, juga pelipisnya yang dibalut dengan perban.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...