Salah paham

942 96 24
                                        

Leo dan Juan membawaku ke daerah terpencil. Untungnya, aku bisa kembali pulang dengan uang yang kukantongi di celana bagian belakang. Kedua makhluk sakit itu hanya mengambil ponselku saja.

Uang tersebut kubawa saat menuju klinik Fathan kemarin pagi. Iya, kemarin. Karena saat kabur tadi, hari sudah hampir pagi lagi. Efek obat biusnya bukan main-main.

Jarak ke rumah lebih jauh ketimbang klinik Fathan. Jadi aku memutuskan untuk pulang ke sana. Lebih dari itu, di sana aku pasti akan lebih aman. Siapa tahu Juan dan Leo akan kembali datang saat aku sendirian tanpa Mas Roland.

Lalu, di sinilah aku sekarang berdiri. Di depan klinik Fathan yang tampak cukup ramai.

"Bu Tita?" Widia--salah satu perawat Fathan--menyapaku. Dia baru saja keluar dari kafe sebelah klinik. Membawa sekantong plastik makanan terbungkus styrofoam transparan.

"Oh. Hay. Fathan, ada?" Widia menatapku dari atas sampai bawah. Keadaanku yang cukup berantakan dengan siku berdarah, pasti membuatnya penasaran. Apa yang terjadi padaku.

Ketika naluri kemanusiaanku tadi muncul dan mengecek denyut nadi Juan apakah masih ada, ternyata dia masih sadar dan mencengkeram lenganku. Refleks, kutepis cengkeraman tangannya yang memang tidak kuat dan berlari tunggang langgang. Keluar dari kusen jendela yang masih meninggalkan sisa pecahan kaca di tepinya.

"Ada. Mari, silakan masuk." Widia meraih lenganku yang tidak terluka. Wajahnya menampakkan kebingungan tapi tidak bertanya.

"Dokter Fathan sedang memeriksa di dalam. Ibu tunggu saja di belakang. Nanti akan saya beri tahukan," ucapnya lagi. Lalu mempersilakanku masuk ke ruang belakang yang dijadikan Fathan sebagai tempat tinggal.

Dengan lunglai aku menuju ruang tamu. Duduk di sofa lalu mengecek luka di lengan yang sudah tidak lagi mengeluarkan darah.
Perlahan kubuka cardigan yang berlumuran darah. Meletakkan di sisi sofa lalu meringis merasakan perih yang lumayan.

"Tita! Kata Widia kamu terluka. Kamu kenapa, hah? Apakah suamimu menyakitimu?" Fathan tergopoh-gopoh mendatangiku. Raut wajahnya syarat akan rasa khawatir.

"Aku tidak apa-apa." Kucoba untuk menenangkan Fathan yang sudah mirip orang kesurupan.

"Astaga! Kamu berdarah!" Fathan meraih tanganku dan memutarnya untuk memperhatikan luka yang berada di atas siku.

"Ini tidak terlalu dalam, Fathan. Kamu jangan berlebihan." Kutepis tangannya yang sedikit menekan sikuku. Rasa nyeri juga terasa di sana. Mungkin karena perbuatan Juan tadi.

"Di sini juga sakit?" Fathan melepas tangannya dariku.

"Sedikit." Aku meringis.

"Suamimu yang melakukannya?"

Aku menggeleng. "Bukan."

"Jangan membelanya, Tita."

"Ini memang bukan perbuatannya, Fath."

"Lalu siapa?"

Aku berpikir keras. Apakah harus menceritakan hal yang sesungguhnya pada Fathan? Jika iya, bagaimana kalau pertanyaan lain muncul perihal siapa Leo dan Juan hingga melakukan ini semua? Lalu ketika aku jujur, kebenaran tentang kebelokkan Mas Roland pasti juga akan turut terbongkar.

"Tita ...."

"Uh?"

Fathan berdecak lalu berdiri. Pergi ke ruang tengah dan kembali lagi membawa kotak P3K. "Sebenarnya, siapa arti diriku bagimu?" tanyanya.

Aku pun terdiam. Menyadari ketersinggungannya karena aku enggan untuk jujur. Dia kecewa. Aku tahu itu. Tapi ini semua kulakukan demi Mas Roland. Apa jadinya kalau Fathan tahu soal pernikahan kontrak kami, juga segala perlakuan Mas Roland padaku selama ini? Tidak. Semua ini akan tetap menjadi rahasia.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang