Terima kasih untuk semua reader yang setia dengan cerita yang nggak jelas alur dan plotnya ini. Terima kasih untuk yang setiap hari memberi semangat untuk up. Terima kasih untuk pembaca baru yang juga bersedia nungguin kelanjutan cerita ini. Terima kasih untuk silent reader yang juga mau baca walau nggak meninggalkan jejak. Terima kasih untuk semuaaa. Maaf kalau aku sering ngebuat kalian jengkel karena lama update.
Pokoknya, mah, i lopyu oll. Cup! Muah!!! ლ(´ ❥ 'ლ)..
..Tita hanya diam ketika Roland dan Akbar bercakap di ruang keluarga. Selepas makan siang tadi, Akbar datang ke rumah lalu membahas sesuatu tentang Juan dan Leo.
Tita tidak merespons sama sekali. Pikirannya masih melayang pada keberadaan Audrina yang sampai saat ini belum menampakkan diri. Meski beberapa saat setelah naik ke lantai atas, Audrina kembali turun, katanya kamar Roland dikunci dan ia tidak dapat masuk. Audrina pun menempati kamar yang berada di lantai bawah. Tepat di perbatasan ruang tamu dan ruang keluarga.
Tadinya ruangan itu merupakan ruang gym. Tita memang belum mengelilingi ruangan rumahnya itu. Audrina yang justru serba lebih tahu.
"Apakah dia sudah siap untuk hadir ke persidangan?" Suara Akbar sedikit membesar, karena ketika mengatakan itu kepalanya menoleh ke arah Tita yang sedang menonton televisi. Sekarang, ruang keluarga menjadi satu dengan ruang televisi. Meski luasnya menjadi dua kali lipat, tapi tidak ada sekat di antara kedua ruangan tersebut. Jadi, meski pelan, obrolan orang yang berada di dalam satu ruangan itu akan terdengar.
"Beberapa saat lagi, mungkin." Itu suara Roland.
Tita masih tidak menoleh sama sekali. Mulutnya penuh dengan kukis yang ia bawa dari rumah Fathan seminggu yang lalu. Kukis buatan Roseline, yang tentunya sangat nikmat sekali. Wanita paruh baya itu membuat banyak sekali.
"Tita." Kali ini Tita menoleh. Ternyata bukan hanya Roland dan Akbar. Di sana, sudah ada Audrina juga. Wanita cantik itu sudah bangun dari tidur manisnya.
"Apakah masih ada makan siang untuk Audrie?" Roland bertanya seolah-olah di sini, Tita adalah pembantunya.
Tita mengangguk. Masih ada sisa opor ayam dan tumis kacang panjang seingatnya. Tita menyimpannya di rak lemari kaca. "Masih. Di rak lemari paling atas." Ia menjawab singkat lalu kembali menatap televisi.
Apakah Roland akan menyuruhnya menyiapkan sekalian? Oh, tidak! Tita tidak akan sudi melakukan hal itu. Lebih baik ia angkat kaki dari rumah ini ketimbang harus merasakan ditindas dan sakit hati.
"Tita." Lagi-lagi Roland memanggil.
"Di rak piring kaca paling atas. Apakah mengambil saja tidak bisa? Harus aku?!" Tita berucap cepat tanpa bernapas sama sekali. Bercampur geram dan emosi. Hal itu membuatnya ngos-ngosan.
Akbar dan Roland yang kini menatap ke arahnya pun terdiam. Merasa aneh karena Roland memanggil bukan untuk tujuan itu. Melainkan ingin membahas masalah Leo dan Juan dengan melibatkan Tita.
Tita menelan ludah ketika ternyata Audrina tidak lagi berada di sana. Hanya ada Roland dan Akbar yang sama-sama bungkam.
"Bu-bukan itu. Maksudnya, kita mau bahas sesuatu." Roland melihat kemarahan di mata Tita. Dan itu bukan sesuatu yang bagus menurutnya.
Sejak kepulangan dari kantor dan disambut muka masam Tita ketika menceritakan keberadaan Audrina, Roland sudah tahu, Tita sedang merasa tidak nyaman dengan keberadaan wanita itu.
"Aku nggak mau!" Tita beranjak dari duduknya lalu melangkah ke lantai atas. Rasa malu dan marah tengah memenuhi hati serta pikirannya.
Roland dan Akbar saling pandang, lalu sama-sama terdiam. Ketika suara panggilan dari Audrina yang berada di dapur, Roland cepat-cepat menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...