sepuluh

1K 120 23
                                        

Pagi ini terasa lebih baik daripada kemarin. Udara segar yang masuk dari jendela kamar, seakan menyalurkan energi positif.

Sembari memejamkan mata, kunikmati udara yang menguarkan aroma embun pagi. Tersenyum lebar, aku berusaha melewati hari ini dengan sebuah pemikiran; semua akan baik-baik saja.

Tadi malam Mas Roland pulang hampir pukul sembilan dan tanpa kusambut sama sekali. Sempat terlihat kenop pintu kamarku yang terkunci berusaha dibuka. Aku tahu itu dia, tapi tentu saja kuabaikan.

Setelah semalaman berpikir, aku memutuskan untuk membatalkan niat membuatnya jatuh cinta padaku. Lelaki dingin dan temperamental seperti dia pasti akan sangat sulit untuk jatuh cinta. Meski ketika mengingat Akbar, ada rasa bersalah karena sudah menyerah di awal perjuangan.

Jika hanya berkaitan tentang membuka hatinya untuk wanita, mungkin aku masih bisa berusaha. Tapi apa yang dia lakukan kemarin benar-benar membuat minatku hilang seketika.

Aku akan menjauh, berusaha mengabaikannya. Sejak awal, aku memang hanya dituntut untuk menjadi istri di atas kertas. Sama sekali tidak dituntut untuk melayani sebagaimana mestinya.

Sayangnya, pagi ini keinginan untuk lebih lama menghindar kuurungkan. Perutku sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama.

Rasa semangat ketika menyambutnya beberapa waktu yang lalu, berubah menjadi takut dan was-was. Jujur saja, rasanya seperti mau menemui monster.

Mengendap-endap seperti maling, aku menoleh ke kanan dan kiri. Beruntung, dapur dalam keadaan sepi. Mas Roland entah masih di rumah atau sudah ke kantor, aku tidak peduli. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah makanan. Membuat omelet, karena hanya membutuhkan waktu singkat.

Sembari memeriksa ponsel, aku menikmati suap demi suap hingga habis. Beberapa pesan dari Akbar semalam tidak kudengar karena ketiduran. Dia menanyakan kabarku, dan kini sedang berada di luar kota. Mendampingi papa membuka cabang baru bisnis restorannya. Dia sempat mengajaku melakukan video call. Tapi kutolak dengan alasan belum mandi. Padahal, itu hanya alasan agar dia tidak melihat perban di kepalaku.

"Kamu sudah bangun?" Suara berat itu membuatku sangat terkejut. Bahkan ponsel di tanganku hampir terjatuh karenanya. Mas Roland tampak segar seperti baru mandi. Dia memakai pakaian dengan model yang sama seperti waktu melemparku dengan asbak. Sepertinya, dia tidak masuk kantor lagi.

Tanpa memedulikannya, aku berdiri, menyimpan piring dan gelas di wastafel tanpa mencucinya terlebih dulu. Lalu berlari ke lantai atas buru-buru.

Sekilas kulihat, Mas Roland menatapku dengan tatapan heran. Aku tidak peduli. Sungguh. Memilih berdiam diri di kamar, menghindar dari dia. Mau sampai kapan? Entah.


...


Mataku terasa perih dan juga gatal, karena menonton serial kartun Tom & Jerry di ponsel. Di kamar ini tidak ada televisi, dan aku juga tidak memiliki laptop.

Sebuah pemikiran muncul di dalam otakku. Ada hal yang terlupakan di sini. Sekarang, aku sudah memiliki banyak uang.

Berganti pakaian kasual, aku menambahkan topi rajut untuk menutupi perban di kepala. Mengendap-endap lagi ke arah tangga seperti tadi pagi.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang