Pagi ini aku bangun lebih awal. Menarik napas dalam-dalam tepat di depan pintu sebelum melangkah ke arah tangga. Mengontrol rasa gugup serta khawatir akan bertemu dengan Mas Roland. Sepertinya, paru-paruku akan bekerja lebih ekstra sekarang, karena sering merasakan sesak sebelum atau saat berhadapan dengannya.
Akan tetapi, kali ini ada setitik rasa iba di dalam diriku. Mengetahui rincian peristiwa yang terjadi padanya dari cerita Akbar semalam, membuatku sedikit tergugah untuk membantu.
Suara gemericik air terdengar di kamar mandi dapur. Apa dia sudah bangun? Terus ngapain di sana?
Pintu kamar mandi terbuka tepat ketika aku sudah berada di depannya. Posisi dapur yang kutuju berada di sebelah kamar mandi, membuat kami kini saling berhadapan. Bedanya, aku menghadap ke arah timur, dengan kepalaku menoleh ke arahnya yang berada di sisi utara.
Aku refleks mundur, ketika dia mulai melangkah. Meski sudah berusaha memberanikan diri, tapi rasa takut itu masih menggelayut dalam hati.
"Ak—aku." Aku tergagap. Mencoba untuk membangun komunikasi terlebih dahulu.
"Saya mau mencuci, tapi detergennya habis." Dia menunjuk ke arah mesin cuci.
Mas Roland memang sering terlihat mencuci pakaiannya sendiri sejak kami tinggal bersama di rumah papa. Dari cerita asisten rumah tangga papa aku tahu, Mas Roland tidak suka pakaiannya disentuh oleh orang lain. Tapi aku curiga, apa jangan-jangan karena wanita yang menjadi alasan?
Aku mengangguk. "Oh. Aku udah beli. Ada di lemari." Secepat kilat, aku berlari menuju lemari kabinet dapur. Disamping untuk mengambilkan detergen, aku terlalu gugup berhadapan dengannya seperti tadi.
"Ada?" Dia mengejutkan aku yang masih berjongkok di depan lemari.
Aku berjingkat, tanpa sengaja tangan kiriku menyenggol gagang panci di atas meja kabinet. Malangnya, di dalam panci tersebut berisi air panas.
Aku berteriak. Mas Roland juga refleks berlari menghampiriku.
"Astagaa. Kamu gimana, sih? Kenapa ceroboh sekali?!" Dia mengomel, tapi tangannya sibuk memeriksa.
Lutut serta dadaku terasa panas. Air tadi tumpah dan membuatku basah.
"Kok nyalahin aku?! Salah siapa naro panci di situ? Mana ada air panasnya!" Aku berdecak kesal. Kompor dan meja kabinet letaknya berseberangan, jadi salahkan yang meletakkan panci di sini.
"Saya tadi bikin kopi. Airnya kelebihan." Dia berdiri, sekilas kulihat dia melirik dadaku yang tersiram air panas. Aku tersadar, jika daster polkadot berlengan pendek warna putih yang kupakai menjadi transparan karena terkena tumpahan air. Membuat dadaku terekspos, beserta pakaian dalam warna merah di dalamnya.
Cepat-cepat kututupi dada dengan kedua tanganku. "Ashh!!" Aku meringis, merasakan panas dan perih bersamaan.
Mas Roland bolak-balik melihatku dan ke arah lain. Mungkin dia merasa bingung mau membantu atau tidak.
Tanpa memedulikan kebingungannya, aku beringsut mencari kotak P3K di dekat pintu ruang tengah.
Rasa panas mulai menjalar ke lutut dan bawah dada. Kurasa, lukanya mulai melepuh. Kulitku memang sedikit sensitif. Ketika menjadi buruh cuci piring di restoran dulu, aku sempat cuti kerja karena tanganku mengelupas, akibat tidak cocok dengan detergen pencuci piringnya. Ya, dulu aku menjalani segala pekerjaan demi sesuap nasi dan setoran Bank!
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...