Dilema

928 91 8
                                    

Semalaman, tidurku sama sekali tidak lelap. Pikiran terus mengembara perihal apa yang dikatakan Papa.

Papa, cucu, anak, aku dan Mas Roland.

Kelima hal itu tak lepas dari pikiranku. Perjanjiannya tidak begitu. Aku hanya harus menjadi istri di atas kertas. Tidak sampai harus punya anak segala!

Sepulang dari rumah Papa kemarin, aku dan Mas Roland saling diam tanpa suara. Aku dengan pemikiran soal cucu, sedangkan Mas Roland entah memikirkan apa. Mungkin dia juga memikirkan tentang apa yang Papa katakan. Karena setelah kami selesai sarapan, Papa mengajaknya berbicara empat mata.

Ketukan di pintu kamar membuat aktivitasku menonton televisi terganggu. Bukan, lebih tepatnya lamunanku yang terganggu. Karena sedari tadi tanganku begitu lincah memencet remote control secara asal, tanpa memerhatikan layarnya.

"Tita. Apa kamu memesan pizza?" Itu suara Mas Roland. Tumben-tumbenan dia yang mengantarkan pesananku? Biasanya juga Pak Satpam. Karena memang setiap paket akan diserahkan di gerbang depan, lalu diantar ke rumah olehnya.

Aku berdeham, lalu menjawab, "Iya."

Setelah sedikit merapikan rambut yang acak-acakan, aku bergegas membuka pintu. Setengah badanku menyembul, karena saat ini hanya mengenakan kaos oblong tanpa lengan berdada rendah dan bawahan celana hotpant. Menurutku, ini sangat tidak sopan jika dilihat oleh lelaki. Walaupun dia itu suamiku, dan belum tentu tertarik juga.

"Terima kasih." Aku menerima uluran pizza. Mas Roland mengernyit karena melihat tingkahku yang seperti menyembunyikan sesuatu.

"Saya mau bicara." Dia mendorong pintu secara paksa, dan otomatis aku mundur, karena gerakannya yang tiba-tiba.

Mas Roland terlihat mengerjap, melihatku dari atas sampai bawah. Lalu tatapannya berhenti di dadaku yang kini sudah sembuh dari siraman air panas beberapa waktu lalu.

"Ma—mau bicara apa?" Kotak pizza kujadikan penutup dada. Aku bingung, mau bagian mana yang akan kututupi. Dada atau paha? Tapi melihat tatapannya yang terpaku di dadaku, jadi daerah itu yang kulindungi. Meski tidak ada kemungkinan dia melecehkan, tapi tetap saja, rasanya sangat risih.

Tatapan Mas Roland beralih ke tempat lain. Dan kali ini dia melihat ke ... ranjang. Oke, kuakui saat ini ranjangku lebih terlihat seperti obralan baju di lapak pedagang. Berantakan.

Selain karena baru saja kugunakan untuk makan snack sambil melamun, juga karena sejak semalam aku tidak beranjak dari sana. Berguling-guling, seperti kucing yang menandai daerah kekuasaannya.

"Astagaa." Mas Roland geleng-gelang kepala.

"Mas, keluar dulu. Tunggu aku di luar." Aku mendorongnya yang masih terpaku dengan keadaan ranjangku yang berantakan.

"Tidak bisa. Saya harus mengatakan sekarang."

"Kenapa tidak di bawah aja kita ngobrolnya?"

"Di bawah ada Juan." Dia kini menatap mataku. Ditatap seperti itu aku jadi salah tingkah.

"Oh, oke. Tunggu di balkon. Aku ...." Aku mengigit bibir, sembari merapatkan kotak pizza di dada.

Seperti mengerti apa maksudku, dia berjalan ke balkon tanpa sepatah kata pun.

Setelah melapisi pakaianku dengan daster Babydoll, aku menyusul Mas Roland ke balkon. Dia tengah berdiri, tangannya bertumpu pagar pembatas.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang