Tentang Roland

1.1K 103 13
                                    

Di beranda rumah, Wirya duduk menatap pancaran langit sore yang menimpa dedaunan di halaman. Kepulan asap teh hijau yang mulai menipis, membuktikan bahwa sudah cukup lama ia termenung. Memikirkan keadaan anak sulung yang sejak dulu tidak bisa lepas dari pantauannya.

Baru beberapa hari yang lalu ia mencoba untuk tidak lagi mencampuri urusan rumah tangga Roland. Karena dari beberapa kabar yang ia dengar, hubungan antara Roland dan Tita mulai membaik. Beberapa kali mereka berdua pergi ke luar bersama. Tidak pernah lagi mendengar kekerasan fisik yang Roland beri pada Tita. Juga senyum Roland yang sedikit lebih lebar setiap kali Wirya mengunjungi kantor pusat, tempat Roland bekerja.

Wirya mengira, Roland dan Tita sudah mulai menyemai rasa cinta. Hatinya mulai sedikit lebih lega. Mungkin sudah saatnya menceritakan tentang perjanjian palsu antara dia dan Tita. Wirya tidak ingin, di kemudian hari Roland tahu perjanjian itu dan berujung salah paham.

Akan tetapi ... terlambat. Baru dua hari pemikiran itu ada, kabar buruk sudah datang. Satpam di rumah Roland mengabarkan, kalau subuh tadi Tita keluar rumah bersama kakaknya dengan derai air mata. Sedangkan Roland terlelap di atas ranjang yang berantakan tanpa sehelai pakaian.

Tanpa dijelaskan lebih rinci, Wirya sudah tahu apa yang telah terjadi. Anaknya berulah lagi.

"Tuan ...." Seorang bodyguard membungkuk singkat, lalu menyerahkan sebuah tablet.

Wirya menerima tablet tersebut dan bertanya, "Sudah terkumpul semua?"

Bodyguard itu mengangguk. "Sudah, Tuan. Beberapa saksi juga sudah ada. Tapi untuk tempat kejadian, mohon maaf. Kami tidak menemukan CCTV sama sekali. Hanya ruang tamu dan teras yang dilengkapi CCTV, Tuan."

Wirya mengangguk lagi, mengenakan kaca mata dan mulai menghidupkan tablet. Matanya menyipit, seiring berjalannya video, amarah dalam dadanya turut meningkat. Rahang berkulit keriput itu mengetat. Setitik rasa sesal karena kelalaian tadi berubah sepenuhnya menjadi kemarahan.

"Frank!" Wirya sudah selesai melihat isi video tersebut. Kini tangannya mengelus dada bagian kiri yang mulai terasa sesak.

Bodyguard yang sejak tadi mendampingi itu pun mendekat. "Iya, Tuan? Anda baik-baik saja?" Frank mulai khawatir. Tuannya terlihat menahan rasa sakit.

"Ya. Aku baik-baik saja." Wirya mengembalikan tablet pada Frank. "Kamu selidiki lagi semua sampai ke akar-akarnya. Saya ingin mereka mendapat hukuman yang setimpal. Sudah cukup selama ini saya bersabar. Kali ini tidak akan memberi alasan untuk pura-pura tidak tahu lagi." Wirya mengembuskan napas perlahan. Untuk mengurangi rasa sesak di jantungnya yang akhir-akhir ini sering datang.

"Baik, Tuan. Saya permisi." Bodyguard bernama Frank itu beranjak pergi. Melaksanakan perintah sang tuan.

Wirya melepas kacamata mata minus yang akhir-akhir ini jarang disentuh karena sudah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang di kantor. Bertepatan dengan itu, Akbar datang.

"Kamu sudah pulang?"

Akbar mendekat, lalu duduk di sebelah papanya.

"Aku sudah ke rumah sakit, Pa." Akbar menyandarkan punggung di kursi.

"Sudah bertemu Tita?"

Akbar menggeleng. "Tita tidak bisa didekati. Terutama oleh lelaki. Dia ... entah separah apa perbuatan Kakak."

Wirya mengembuskan napas berat. Perasaan bersalahnya semakin membesar. "Papa tidak mengira akan jadi seperti ini. Mungkin seharusnya sejak awal Papa tidak memaksa Tita untuk terlibat lebih jauh. "

"Benar. Harusnya, kita berhenti meminta Tita membantu sejak Kakak sudah mulai terbiasa dengan keberadaan perempuan. Cukup sampai di situ. Tidak sampai meminta Tita untuk melahirkan anak Kakak."

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang