Embusan angin malam menjadi candu baginya. Suara kendaraan yang lalu lalang, juga menjadi back sound yang tiada henti mengalun mengisi gendang telinga.
Tita menarik napas dalam-dalam. Sudah terhitung satu minggu sejak video yang Akbar kirim. Roland pun sering mengirim chat padanya. Menanyakan soal kabar, soal makan, dan soal kesehatan. Semua chat itu Tita baca, walau tidak membalas sama sekali. Anehnya, Roland tidak pernah bosan. Kadang, Tita sampai senyum-senyum sendiri membayangkan raut wajah Roland ketika mengetik kalimat-kalimat yang ia tahu, itu bukan gaya Roland sama sekali.
Tita benar. Itu sama sekali bukan gaya Roland. Karena pada kenyataannya, untuk sekadar chat saja, Roland harus diajari oleh Akbar. Terkadang, saat di rumah Wirya, mereka berdua tampak akur hanya untuk mengirim chat pada Tita. Atau kadang, saat berjauhan, Roland terus merecoki Akbar lewat telepon agar mengajarinya kata-kata apa yang pantas ia kirim pada waktu malam, siang, atau sore hari.
Meski sudah diajari berkali-kali, Roland masih tidak mengerti. Saat Akbar mengatakan kalau cukup tanyakan atau katakan apa yang ada di dalam hatinya, maka Roland akan menjawab, "yang ada di hatiku, aku cuma mau cepat-cepat dia kembali, Bar. Aku mau minta maaf, aku kangen. Masa tiap hari mau bilang itu melulu? Nanti dia bosan, dong." Dengan tampang polos yang mendekati bodohnya itu, Roland menjawab.
Akbar tidak jarang mengacak rambutnya sendiri. Merasa geram dan juga frustasi. Apalagi Roland sering tidak tahu waktu dan tahu diri ketika meminta pertolongan. Saat sedang rapat pun, dia diteror kata-kata rayuan gombal untuk kakaknya copas dan kirim pada Tita. Roland memang menyusahkan!
"Tita ... sudah tidur?" Ketukan di pintu kamar serta suara Fathan, membuat Tita menoleh. Kegiatan mengamati dunia luar dari balik jendela entah mengapa begitu ia sukai semenjak tinggal di kamar ini.
"Belum." Sedikit ragu, Tita membuka pintu. Sejak tinggal di sini, Fathan tidak pernah mendatangi kamarnya terutama saat malam hari.
"Aku mau ngomong sesuatu. Ke bawah, bisa?" Fathan langsung berterus terang ketika pintu baru saja terbuka.
Tita menutup pintu, merapikan pakaiannya lalu keluar. Turun ke lantai bawah sesuai yang diinginkan Fathan.
Di ruang televisi, Fathan sudah duduk menunggu. Di atas meja juga tersedia dua gelas minuman hangat. Tita pun mendekat, duduk di seberang meja. Berhadapan dengan Fathan. Kini, di rumah itu hanya tinggal mereka berdua. Sejak ada Roseline di sini, Fathan diminta untuk memperkerjakan seorang asisten rumah tangga, tapi hanya bekerja pagi sampai sore hari.
"Ada apa?" Tita memulai percakapan. Merasa agak canggung karena Fathan tak kunjung bicara.
"Entah ini mendadak atau enggak. Yang jelas, ini memang harus kita bahas, cepat atau lambat." Fathan mendorong satu gelas minuman yang ternyata berisi cokelat ke hadapan Tita.
Tita meraih gelas tersebut. Merasa suhunya sudah tidak terlalu panas, dia pun langsung menyeruput. Refleks, ingatannya kembali pada saat dirinya dan Akbar meminum cokelat hangat beberapa bulan yang lalu di rumah yang ia tinggali bersama Roland. Hanya dengan mengingat momen tersebut, Tita sudah merasa jantungnya berdebar-debar.
" ... kapan? Tita?"
"Hah?" Tanpa menyadari, di hadapannya Fathan tengah berbicara sesuatu.
"Kamu nggak denger ya aku ngomong apa?"
"Engh ... maaf. Aku tadi kurang fokus." Tita menggenggam cangkir yang menularkan rasa hangat pada telapak tangannya.
"Aku nanya, jadi, kapan kamu buat keputusan untuk mengajukan gugatan cerai untuk suamimu?"
"Hah?" Lagi-lagi Tita menjawab pertanyaan Fathan dengan pertanyaan. Membuat Fathan menghela napas. "Aku kapan bilang mau ngajuin gugatan?"
Fathan mengernyit. "Memang iya, kan? Setelah semua yang terjadi, apa kamu masih mau kembali sama dia?" Fathan sebenarnya tahu, Tita masih mencintai Roland. Hanya saja ... dirinya merasa tidak rela jika Tita kembali pada lelaki yang sudah menyakiti fisik serta batin adiknya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...