10

39 11 25
                                    


Vote dulu ya sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading





"Halo, lo udah atur rencana kita yang kemarin?"

"Udah, sesuai rencana kita pas waktu di awal." Ujar seseorang di seberang sana.

Aku tersenyum samar, ketika mendengar jawaban orang itu. "Lo harus awasin cewek itu, kemanapun dia pergi jangan sampai ketinggalan jejak." Ujarku, lalu memutus panggilan dengan sepihak.

Langkah kakiku menyusuri setiap sudut toko buku, menunggu kedatangan seseorang yang selalu aku nantikan. Beberapa detik kemudian, suara sapaan dari para karyawan terdengar begitu ramah di telingaku.

Mataku terus saja memandang objek yang sedari tadi aku nantikan, senyumku merekah. Tapi, aku harus mencari strategi untuk bisa menyapanya.

Hari ini aku mengenakan hoodie hitam dan tak lupa memakai topi hitam kesayanganku. Langkah kakiku terhenti, ketika melihat Gadis itu kesusahan mengambil buku yang berada di rak paling atas. Aku melangkah, dan membantunya untuk mengambil buku tersebut.

"Kalau nggak bisa ngambil, seenggaknya lo minta bantuan." Gadis itu terkejut melihatku.

"Lo ngapain di sini?" Tanya gadis itu heran.

"Ngawasin lo." Ujarku frontal sambil tersenyum, gadis itu sepertinya kesal denganku.

"Lo kenapa sih ngikutin gue terus gak ada kerjaan? lo pengangguran ha?" Tanya Gisel dengan bersungut-sungut, yups gadis itu adalah Anandita Gisela Prananta.

"Suka." Ujarku sambil tersenyum.

"He kalau ngomong tuh yang jelas bambang, kalau kayak gini terus gue laporin lo ke kantor polisi mau atas tuduhan menguntit." Cerocos Gisel, aku yang melihat itu semua gemas dengan tingkah Gisel.

"Silahkan gue gak takut." Godaku, sambil menatap Gisel yang berlalu begitu saja.

"Sel, jangan tinggalin gue." Ujarku sambil mengejar Gisel, tanpa pikir panjang aku langsung menarik tangannya. Untung saja Gisel tidak jatuh.

"Lo kenapa sih selalu ngehindar? apa lo sebenci itu sama gue?" Pertanyaanku, sama sekali tak di gubris olehnya.

"Sel jawab!" Aku tau ini sungguh keterlaluan, tapi aku butuh jawaban dari Gisel.

"Iya gue benci sama lo, puas." Jawaban Gisel mampu membuatku lemas seketika, dadaku rasanya sesak. Aku melepaskan genggaman tanganku, yang berada di pergelangan tangannya.

"Tapi kenapa? Kenapa lo benci gue Isel." Tanpa memerdulikan pertanyaanku, Gisel pergi begitu saja meninggalkanku.

"Sial, kenapa jadi begini sih." Batinku.

Aku segera pergi, menaiki mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Hatiku bergemuruh hari ini aku ingin sekali melampiaskan kemarahanku. Aku sama sekali tak menghiraukan ucapan para pengendara yang lainnya, yang aku pikirkan hanya satu yaitu ketenangan.

20 menit aku baru tiba dirumah, suasanya sangat sepi seperti tak ada penghuni padahal di rumah ada Bi Asri. Tapi yang aku rasakan hanya kekosongan dalam bangunan yang megah ini.

Langkah kakiku memasuki rumah, dan pergi ke kamar yang sudah seperti tempat ternyaman bagiku. Tanganku menyusuri loker nakas yang berada di samping tempat tidurku. Aku membukannya, senyumku merekah kala menemukan benda yang sedari tadi aku cari.

Ketika aku ingin menggoreskan benda tajam itu di pergelangan kakiku, Bi Asri masuk ke kamarku tanpa permisi. Aku ingin marah tapi apa boleh buat Bi Asri adalah orang tua yang selama ini menyangaiku.

"Aden mau ngapain lagi? jangan coba-coba ya, nanti kalau sakit malah Bibi mutilasi loh." Mataku melotot, mendengarkan ucapan Bi Asri.

"Oh astaga, kenapa Bi Asri lebih nyeremin sih dari pada benda tajam yang ada di tanganku ini." Batinku.

"Bibi diem aja ya jangan ngancem aku, aku cuman pingin nenangin diri."

"Nenangin diri kok pake benda tajam, nenangin diri tuh sambil dengerin musik. Kayak Bibi nih contohnya dengerin lagu dangdut." Aku hanya bisa memutar bola mataku malas.

"Udah Bi ngomongnya, sekarang Bibi keluar ya Satria mau istirahat!" Perintahku, Bi Asripun tak membanta ucapanku dia keluar tanpa mengatakan apapun.

***

Malam yang di selimuti bintang dan bulan, angin dingin yang menerpah seluruh permukaan wajahku. Malam ini, aku duduk sendirian di balkon mengerjakan dokumen-dokumen penting dari Radit.

Sebenarnya mataku sudah lelah, tapi apa boleh buat besok waktunya presentasi saat rapat berlangsung.

"Astaga, mata gue panas." Gumamku.

Aku berusaha memejamkan mataku, tapi yang terlintas dalam pikiranku hanyalah tentang Gisel.

Aku mengambil pisau lipat di dalam saku hoodie ku, membukannya lalu menggoreskan di telapak tanganku. Sebanarnya ini terasa sakit tapi aku sangat lega. Bodoh memang melampiaskan kekesalan dengan cara menjijikkan, tapi aku suka.

Aku melihat sayatan itu di telapak tanganku, senyumku mengembang mungkin orang pikir aku adalah orang gila atau psikopat, tapi nyatanya aku hanya manusia rapuh yang bahkan tak pernah tau apa itu rasa kasih sayang. Miris itulah yang aku rasakan sekarang.

Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari bawah, suara pecahan kaca bahkan menggema di telingaku, suara teriakan dan suara tamparan yang setiap hari tak ingin aku dengar.

Aku bosan dengan hidupku yang seperti ini ingin lari dari kenyataanpun rasanya sulit, Radit selalu menghalangiku untuk tetap bertahan walaupun kenyataannya sangat sulit.

***




TBC

Halo para pembaca setia Sagi, gimana nih sama part ini seru atau nggak. Maaf ya part ini cuman dikit doang soalnya authornya lagi nggak ada ide buat nulis part ini

Maaf juga kalau semisal partnya rada nggak nyambung sama part yang kemarin. Hehe

Jangan lupa coment juga ya

See you di next chapter selanjutnya

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang