6

40 11 19
                                    

Vote dulu ya sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading


Hari minggu adalah hari libur yang di tunggu-tunggu oleh sejuta umat, tak terkecuali gadis bernama Gisel. Ia sangat bersemangat, untuk menantikan hari libur ini di toko buku.

Langkah kakinya menuruni tangga satu persatu, senyumnya merekah. Bahkan mamanya sampai terheran-heran atas perilakunya.

"Kamu, baik-baik aja kan Sel?" Tanya Andin.

"Gisel baik-baik aja kok Ma,"

"Eh Pa, anterin Gisel ke toko buku biasanya ya ya ya." Ujar Gisel penuh harap, pikirnya semoga David mau mengantarkannya.

"Yaudah papa anterin." Mata Gisel berbinar, mendengarkan jawaban dari David.

"Tencu Papaku sayang." Ujarnya sambil memeluk David, membuat mamanya menggeleng melihat tingkah absurdnya.

***

"Gisel, nanti Papa nggak bisa jemput kamu."

"Yaudah deh nggak apa." Ujar Gisel cemberut.

"Hei jangan cemberut dong, nanti kamu di jemput sama Pak Pardi oke." Gisel hanya mengangguk.

Ia turun dari mobil, langkah kakinya memasuki toko buku dengan perasaan campur aduk. Karena kesal dengan Papanya yang tidak bisa menjemputnya, anggap saja ia seperti anak kecil.

Seperti biasa ia di sapa dengan penjaga toko dengan ramah, kehadirannya yang mungkin setiap hari di toko buku itu membuat para pegawai mengenalinya.

"Selamat pagi Mbak Gisel, ada yang bisa saya bantu?" Gisel tersenyum ramah, pada karyawan itu.

"Nggak usah Sa, aku mau baca buku kok di sini." Sasa mengangguk dan pamit undur diri.

Langkah Gisel menyusuri setiap rak buku, matanya terpaku dengan judul buku Dan Hujan Pun Berhenti karya Farida susanty. Ia mengambilnya, dan membaca buku itu di pojok ruangan.

Halaman demi halaman ia baca, sampai pada pertengahan bab ada suara yang sedikit familiar di telinganya. Suaranya bak setan, bikin merinding.

"Lagi baca buku apa?" Lagi-lagi cowok pengusik itu, kenapa sejak insiden waktu itu Gisel benar-benar apes.

"Lo lagi, gak bosen apa?" Laki-laki itu tersenyum, dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan Gisel.

"Dan Hujan Pun Berhenti." Laki-laki itu tak menghiraukan pertanyaan Gisel, ia malah sibuk membaca judul buku yang ada digenggaman Gisel.

"Woi, Satria baja karatan lo denger gak sih gue ngomong apa?" Gisel geram dengan tingkah Satria, yang seolah-olah tak mendengarkannya.

"Wah, lo inget nama Gue sip pinter." Ujar Satria, sambil mengacak-ngacak rambut Gisel.

"Apaan sih lo, dasar gak waras." Lagi-lagi Satria hanya menampilkan senyumnya, yang membuat Gisel takut.

"Iya gue gak waras, itu semua gara-gara lo." Ujar Satria dengan pelan dengan sorot tatapan mata yang tajam, Gisel hanya bisa menelan Luda ia takut Satria akan membunuhnya atau mencekiknya di tempat umum ini.

Sedetik kemudian Satria tertawa melihat ekspresi Gisel yang menurutnya lucu, bagi Gisel Satria adalah tipe cowok yang harus ia waspadai mulai sekarang.

"Gak usah ketawa, gak ada yang lucu." Ujar Gisel, lalu ia beranjak dari tempat duduk meninggalkan Satria yang terus saja menatapnya.

"Sel mau kemana?"

"Bukan urusan lo."

Gisel dengan kesal keluar dari toko buku, ia tak memperdulikan orang-orang yang menatapnya aneh. Langkah kakinya menuju tukang bakso, hari ini ia ingin makan bakso yang pedas agar suasanan hatinya membaik.

"Mang Parjo, bakso kayak biasanya ya tapi agak pedes." Mang Parjo mengangguk.

Tak butuh waktu lama bakso pesanannya sudah terhidang di hadapannya, ia segera melahap bakso itu dengan emosi yang sunggu ingin meledak.

"Hati-hati kalau makan, ntar keselek baru tau rasa." Betapa terkejutnya Gisel, saat Satria sudah berada di sampingnya. Ia tersedak kuah bakso yang sunggu sangat pedas.

Uhuk uhuk uhuk

Satria langsung memberikan minuman yang berada di hadapan Gisel. "Lo kenapa sih selalu muncul kayak setan, ini semua salah lo ya dan sekarang lo harus tanggung jawab." Cerocos Gisel setelah rasa perih di tenggorokannya hilang.

"Gue tanggung jawab gimana? lo kan nggak hamil." Ujar Satria kelewat polos.

"Dasar idiot, konteksnya bukan kayak gitu lo harus bayarin makanan ini, gue gak mau tau sekarang gue pergi dan lo nggak usah ngikutin gue lagi." Gisel pergi dengan perasaan dongkol.

"SEL TUNGGUIN!!!" teriakan Satria menggema membuat orang lain menoleh, ia sama sekali tak punya rasa malu dan ia pergi untuk mengajar Gisel.

***

"Halo Pak jemput Gisel di perempatan jalan deket toko buku ya, gak pake lama." Ujar Gisel, lalu mematikan panggilan itu secara sepihak.


Gisel menunggu pak Pardi dengan gelisah, semoga saja Pak Pardi datang cepat dan ia bisa menghindari orang bernama Satria itu.

"Hadu lama banget sih Pak Pardi ini." Batinnya.

"Semoga, cowok gila itu nggak muncul lagi." Doanya dalam hati.

Mobil pak Pardi sudah kelihatan ia melambaikan tangannya, "Akhirnya terhindar sudah." Ia menghela napas lega.

Setelah Pak Pardi berhenti, ia langsung masuk ke dalam mobil. "Ini langsung pulang kan non?" Gisel mengangguk, mobil pun berjalan membela kota Bogor.

"Non kenapa kayak gelisah gitu?" Gisel mengalihkan pandangnnya.

"Saya ndak kenapa-kenapa pak, cuman saya lagi mikirin tugas yang numpuk." Gisel berbohong kepada Pak Pardi, ia takut Pak Pardi merasakan cemas karena Gisel sudah dianggap anak sendiri oleh pria paruh baya itu.

"Jangan banyak pikiran atuh non, nanti non sakit." Gisel mengangguk dan memfokuskan pandangannya ke arah luar jendela.

Pikiran Gisel melayang ke kejadian tadi, ia tak habis pikir dengan laki-laki bernama Satria itu. Kenapa seolah-olah Satria selalu saja mengusiknya? apa yang di mau laki-laki itu? Pertanyaan itu selalu berkecamuk dalam otaknya.

"Kalau aja gue bisa baca pikiran orang, mungkin orang pertama yang gue baca pikirannya itu Satria. Si tukang penguntit." Batinnya bergejolak.

***


TBC

Gimana sama part ini seru nggak
Jangan lupa vote sama comentnya ya biar aku makin semangat.

Oh iya jangan lupa nantikan kejutan-kejutan dari cerita Gisel dan Satria.

See you di next chapter selanjutnya teman-teman.

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang