28

21 9 4
                                    

Vote dulu sebelum baca
.
.
.
.
.
.
Happy reading




















"Gue minta nomornya Radit, soalnya gue pingin tau keadaan Satria." Kalimat itu sukses keluar dari mulutku.

Seketika raut wajah Dita berubah menjadi Syok, "Demi apa lo pingin tau keadaan dia?" Mata Dita berbinar seketika.

"Biasa aja kali itu matanya, mau gue colok." Dita nyengir.

"Jangan dicolok dong, nanti gue gak bisa liat cogan lo mau tanggung jawab." Aku hanya bisa memutar bola mataku malas.

"Mana gue minta nomornya Radit."

"Kalau gue gak mau gimana?" Demi apapun aku kesal dengan sifat Dita yang seperti ini.

"Dit please, gue butuh banget." Ujarku memohon.

"Gue bakal ngasih ke lo nomornya Kak Radit, asalkan..."

"Asalkan apa Dita." Ujarku penuh dengan penasaran.

"Jangan deket sama Kak Adam lagi." Ujarnya memasang wajah serius.

"Kenapa?" Tanyaku penuh dengan nada curiga.

"Nanti lo bakalan tau." Ujarnya cepat tanpa menatapku.

Aku menghela napas, "Oke sekarang gue minta nomornya Radit." Dita mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan membukanya.

"Ini nomornya, puaskan lo gue kasih." Aku tersenyum.

"Tencu sahabat aku yang paling baik." Dita hanya memutar bola matanya dengan malas, melihat tingkahku.

Aku menyalin nomor Radit di ponselku. Seketika Dita membuka suara, membuatku menoleh kearahnya

"Sel, sebenarnya waktu itu gue pingin cerita ke lo tapi gue takut lo gak percaya sama cerita gue." Aku menatapnya dengan kebingungan.

"Lo mau cerita apa?"

"Lo jangan bilang sapa-sapa ya." Aku semakin penasaran, dengan cerita Dita.

"Yaelah ribet amat, iya gue gak bakal bilang sapa-sapa."

"Sebenarnya Sel, gue akhir-akhir ini lagi di teror sama orang."

"Diteror?" Dita mengangguk.

"Jadi selama ini Dita juga di teror, astaga apa sih maunya itu orang." Ujarku dalam hati.

"Lo tau siapa yang neror?" Tanyaku, Dita tak mau menjawab. Ia hanya bungkam.

"Gue gak bisa ngasih tau lo Sel, nanti lo bakal tau sendiri siapa orangnya." Aku terdiam membisu, pikiranku berkelana siapa orang itu. Apa mungkin aku kenal apakah dia cewek gila itu.

"Udahlah nggak usah di pikirin sekarang pulang, gue males di sini lama-lama hawanya nggak enak." Lanjut Dita.

Dita berdiri, lalu aku mengikutinya. Aku melangkahkan kakiku mengikuti Dita dari belakang. Pikiranku melayang tentang kejadian hari ini banyak sekali teka-teki yang tidak bisa aku pecahkan sendiri.

***

Sesampainya dirumah Dita, aku segerah berpamitan kepada Tante Mila.

"Tante, Gisel pamit pulang dulu ya."

"Loh, kok cepet banget Sel."

"Iya Tante, Gisel masih ada urusan." Ujarku sambil tersenyum canggung.

"Yaudah kalau gitu hati-hati ya di jalan." Aku hanya mengangguk, dan melangkahkan kakiku keluar di iringi oleh Dita.

"Lo, beneran nih mau balik sekarang. Kayaknya udah nggak sabar pingin tau kabarnya Satria."

"Apaan sih lo." Ujarku malas.

"Gue balik dulu, kasian Pak Pardi dari tadi nunggu terus."

"Oke hati-hati."

Diperjalanan pulang hanya ada keheningan, mataku sedari tadi fokus ke ponsel yang ada di genggaman tanganku.

Radit, ini gue Gisel.

Pesan itu masih belum dibalas oleh Radit, sampai aku tak sadar bahwa mobil yang aku tumpangi sudah sampai di halaman rumah.

"Non udah nyampe." Aku menoleh kearah Pak Pardi.

"Ah, iya pak." Aku segera turun, dan di sana aku melihat Mama yang sedang asik menyirami tanaman.

"Mama." Ujarku sambil memeluknya.

"Astaga Gisel, jangan bikin Mama jantungan deh." Omel Mama.

"Ya maap atuh Mah."ujarku merasa bersalah.

"Sore nanti mama masak apa?"

"Kamu ini ya, kalau makanan aja nomor satu." Ujar Mama sewot, aku hanya terkikik geli.

"Mama nanti mau masak rendang, kamu mau?" Mataku berbinar.

"Ya maulah Ma, kan masakan Mama selalu enak." Mama tersenyum melihat tingkahku.

"Papa pulang jam berapa?" Tanyaku penasaran.

"Mungkin jam 7 Papa baru pulang." Aku hanya mengangguk, dan pamit ke Mama untuk masuk kedalam rumah.

"Ma aku masuk dulu ya, mau ganti baju."

"Nanti jangan lupa bantu Mama masak."

"Iya Mama."

Aku langsung melangkahkan kakiku meninggalkan pekarangan rumah, dan membuka pintu lalu masuk dan melangkahkan kakiku ke arah anak tangga.

Mataku menatap kamar Kak Ardan yang terlihat kosong, sebenarnya aku penasaran ada apa didalam kamarnya kenapa kamarnya kak Ardan tidak boleh di masuki olehku, apa mungkin Mama takut traumaku akan kembali lagi. Aku tak memikirkan hal-hal aneh lagi, dan berbelok ke arah kamarku.

Sesampainya aku didalam kamar, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang, rasanya lelah sekali hari ini padahal hanya kerumah Dita dan berjalan-jalan di taman komplek.

Suara notifikasi dari ponselku tiba-tiba berdering, aku segera membukanya. Aku kira dari Radit ternyata dari nomor yang aku tidak kenal, pikiranku langsung menuju pada sosok Rechel yang akhir-akhir ini jarang mengangguku lagi.

Hai Sel, apa kabar?

***








TBC

hai gimana sama part ini makin seru kah? Atau masih pemasaran sama apa yang diomongin papanya Gisel

Jangan lupa coment yang banyak kalau ada salah tandain aja oke.

Dan nantikan kejutan-kejutan teka teki di chapter selanjutnya

See you

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang