Vote dulu sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading"Kak Ardan jangan tinggalin Isel, Isel takut." Gumam Gisel dalam tidurnya.
Matanya masih terpejam, tidurnya nampak gelisah. Keringat keluar dari sekujur tubuhnya, sedetik kemudian matanya terbuka ia langsung bangun dan mengatur deru napasnya yang memburu. Ia buru-buru mengambil minum di atas nakas yang selalu di sediakan mamanya.
"Ya tuhan, kenapa mimpi itu lagi? Aku takut." Gisel menahan isak tangisnya, ia tak mau Mama dan Papanya mendengar.
Sudah puluhan kali ia memimpikan kejadian yang sama, kejadian yang selalu ingin ia lupakan. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi ia langsung bergegas ke kamar mandi, dan berangkat kuliah. Ia harus melupakan mimpi tadi, walaupun kenyataannya sangat sulit.
"Ma, Gisel berangkat kuliah dulu ya." Pamitnya.
"Kamu nggak sarapan dulu Sel?" Gisel menggeleng, hari ini ia benar-benar tidak bernafsu makan.
Setelah berpamitan, Gisel langsung langsung menaiki mobil dan di antar oleh Pak Pardi. "Non, ini langsung ke kampus atau gimana? soalnya masih pagi, nggak mungkinkan kalau non ke kampus pagi-pagi." Ujar Pak Pardi.
"Ke kampus aja pak." Pak Pardi melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.
Sesampainya di kampus, Gisel berpamitan ke pada Pak Pardi. Langkah kakinya memasuki gedung fakultasnya ia berniat untuk ke taman belakang, hanya menghilangkan pikiran yang terus berkecamuk.
Ia duduk di salah satu kursi, pandangan matanya kosong menatap ke arah pohon. Seketika air matanya luruh, membasahi pipinya.
"Lagi apa sel?" Gisel langsung menghapus air matanya.
"Eh Kak Adam, kakak ngapain di sini?" Gisel berusaha menutupi kesedihannya.
"Gue ke sini, karena liat lo sendirian biasanya kan sama Dita." Adam menatap Gisel dengan dalam, sepertinya Gisel menyembunyikan sesuatu.
"Lo habis nangis ya?" Gisel terkejut, ia langsung mengelak.
"Nggak kok kak, tadi Gisel tuh kelilipan aja." Adam mengangguk, untung saja Adam percaya.
"Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita sama gue." Senyum Adam membuat hati Gisel menghangat, bagi Gisel sosok Adam di hidupnya sudah seperti kakaknya sendiri.
"Ayo, gue anterin ke kelas." Gisel mengangguk.
Mereka berdua beranjak dari tempat duduk, langkah kaki mereka berdua beriringan. Banyak pasang yang menatap mereka, termasuk salah satu orang yang berada di balik pilar.
***
Suasana kelas hari ini membuat Gisel, ingin cepat pulang tak ada yang menarik dari pelajaran filsafat selain tempat tidurnya yang nyaman.
Dita sedari tadi memperhatikannya, tapi Gisel masih belum sadar akan temannya yang memperhatikannya. "Stttt... Sel." Gisel menoleh ke arah Dita, dan menampilkan ekspresi seperti bertanya ada apa?
"Lo kenapa, kok lesu dari tadi." Gisel hanya menggeleng tanda ia tak apa-apa.
Bel pulangpun akhirnya berbunyi, Gisel buru-buru merapikan buku-bukunya. Dita yang melihat itu, segera menyusul Gisel.
"WOI SEL, LO MAU KEMANA?" Teriakan Dita menggema, disetiap penjuru lorong. Gisel menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Dita yang masih mengatur deru napasnya.
"Gue mau pulang, lo mau main ke rumah gue?" Dita mengangguk antusias, sudah lama ia tidak bermain ke rumah Gisel karena akhir-akhir ini tugas kuliah yang sangat banyak.
"Tapi kita nunggu Pak Pardi dulu ya."
"Oke."
Suara notifikasi ponsel Gisel berbunyi, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. Nama Satria, terterah di layar ponselnya.
Sel lo dimana?
Gue boleh jemput lo?
Kalau boleh gue otw.
Gisel segera membalas chat tersebut dengan singkat.
Kampus
Gak boleh.
Dita memperhatikan ekpresi kesal, yang terpapang jelas di wajah Gisel. "Muka lo kenapa?" Gisel kaget, ia lupa ada Dita di sebelahnya.
"Habis dapet chat dari sapa?"
"Gak tau salah kirim katanya, biasa orang iseng." Ujar Gisel dengan santai.
"Lo masih inget, cowok yang namanya Satria itu?" Gisel mengagguk malas.
"Kenapa lo ngebahas dia? Lo suka ya?" Goda Gisel, Dita hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar.
"Gue nggak suka dia Sel, tapi ini masalahnya penting banget." Gisel penasaran, kenapa masalah Satria jadi semakin penting di kehidupan Dita.
Mobil jemputan Gisel sudah datang, mereka berdua masuk ke dalam mobil, tapi pikiran Gisel masih memikirkan ucapan Dita tadi. Bahkan Dita sama sekali tak melanjutkan omongannya dan sekarang ia malah sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya.
Gisel menatap jalanan yang nampak cukup ramai, ia bosan dengan keadaan ini. Suasan yang tidak pernah sama sekali ia inginkan.
"Lihat deh IG nya Satria, dia kelihatan misterius banget nggak sih?" Gisel menoleh dan mengangkat bahu tidak peduli.
"Gue ngerasa, dia punya beban hidup yang selama ini ia tanggung."
"Gak usah sok tau. Emangnya lo udah kenal dia lama, nggak kan."
"Iya sih, gue aja ketemu dia masih satu kali pas waktu di toko buku itu."
"Eh tapi.." Ekpresi Dita seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Tapi apa?" Gisel semakin penasaran, akan kelajutan cerita Dita.
"Waktu itu gue ngeliat dia, tapi anehnya tangannya berdarah banyak banget dan lagi dia kelihatan seperti orang linglung."
"Apa mungkin, dia ngelakuin self injury?" Gisel menatap tak percaya ke arah Dita, mana mungkin seorang Satria yang ceria melakukan hal sekonyol itu.
Tapi Gisel tak memusingkan hal itu, semua itu urusan Satria ingin melakukan apapun ia tak peduli. Lagian hidupnya Satria ngapain ia peduli.
***
TBC
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.See you di next chapter selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGI ✔ [SELESAI]
Fiksi RemajaPertemuan Satria dan Gisel terdengar sangat absurd, berawal dari toko buku yang sering Gisel kunjungi ia di pertemukan dengan sosok Satria yang terlihat gembira ketika bertemu dengannya. Gadis itu sempat kesal dengan tingkah laki-laki yang baru bebe...