Vote dulu ya sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading"Lo kenapa sih, ngelakuin hal kayak gini udah bosen hidup? dan lagi kenapa lo ada di kampus gue?" Ujarku penuh dengan rasa penasaran sekaligus kesal.
"Gue nggak bosen hidup, ini kesukaan gue, dan gue ada disini karena kampus ini milik bokap gue." Ujar orang itu dengan santai.
"Lo bilang itu kesukaan lo, sehat lo?" Ujarku sambil menunjuk luka yang sudah aku obati tadi.
"Gue sehat, buktinya gue bisa senyum." Ujar orang itu, sambil tersenyum menyebalkan.
"Dasar Satria bego."
Setelah mengatainya aku beranjak dari tempatku duduk tadi, aku melihat pemandangan sekitar yang sungguh menenangkan. Perbuatan Satria tadi, membuatku mengingat akan kejadian empat tahun lalu.
"Lo ada masalah ya?" Aku menoleh, ternyata sedari tadi Satria sudah berada di sampingku tapi tatapannya fokus ke arah depan.
"Jangan sok tau."
"Keliatan kok kalau lo ada masalah, jangan di pendem sendiri sel berat. Dilan aja nggak kuat nahan rindu, apa lagi nahan masalah kek lo." Perkataan Satria membuatku terkekeh. Ternyata Satria orangnya menyenangkan, tak seperti yang selama ini aku pikirkan.
"Gue seneng bisa bikin lo ketawa." Aku menoleh ke arah Satria, tapi dia sama sekali tak menoleh ke arahku.
"Kenapa sih lo selalu berusaha ngedeketin gue mulu? Kadang gue sampai heran, lo itu nggak ada kerjaan atau gimana sih?"
"Gue bukan nggak ada kerjaan Sel, bahkan gue banyak banget kerjaan di kantor." Ujarnya sambil menatapku.
"Lah berarti lo udah tua dong, maap-maap nih ya om gue kagak tau kalau lo udah kerja, gue kira masih kuliah wkwk." Aku tertawa, tapi sepertinya dia tidak suka dengan leluconku.
"Gue masih umur 22, dan lo udah manggil gue om, gue jitak baru tau rasa." Omelan darinya membuatku tertawa terbahak-bahak.
Sejenak aku melupakan kejadian tadi bersama Dita. Hanya dengan ditemani oleh Satria, suasana hatiku menjadi lebih baik.
"Lo sama kayak Kakak gue ya," ujarku sambil menatapnya.
"Gue bukan Kakak lo, tapi lebih tepatnya gue itu pendamping hidup lo kelak." Aku menatapnya tajam, tak taukah aku sedang berbicara serius.
"Gue serius Satria baja karatan."
"Oke-oke serius,"
"Gue boleh cerita nggak?" Tanyaku kepadanya, untuk meminta persetujuan.
Dia mengangguk, "Boleh silahkan."
4 tahun yang lalu
Hari dimana kota bogor di guyur hujan deras. Waktu itu pagi, aku masih asik bercanda bersama kakakku. Namanya Ardana Dito Prananta.
Kak Ardan, satu-satunya orang yang selalu menaruh rasa perhatian kepadaku, dia yang selalu bisa membuatku semangat kembali di hari esok.
"Isel kalau udah kuliah pasti cantik, kayak temen-temen kakak di kampus dulu." Ujar Kakakku, aku cemberut mendengarkan ucapannya.
"Masa nunggu Isel kuliah dulu baru jadi cantik, emang Isel sekarang nggak cantik?"
"Ya cantik lah, kan kamu adiknya kakak." Ujar Kak Ardan, sambil mencubit gemas pipiku.
Sebenarnya sedari kecil aku dan Kak Ardan selalu di tinggal sendirian, karena Papa yang selalu ke luar negeri untuk urusan bisnis, sedangkan Mama dia harus mengurus butik.
Kami selalu saja kemana-kemana pergi berdua, tapi semenjak umur Kak Ardan menginjak 22 tahun. Semua berubah, Kak Ardan menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang selalu di berikan Papa.
"Kakak selalu sibuk, kapan bisa jalan-jalan bareng kayak dulu lagi?" Tanyaku dengan nada sedih.
"Isel sabar ya, Kakak pasti bakalan ngeluangin waktu buat kamu, jangan sedih ya nanti cantiknya hilang loh." Ujar Kak Ardan memberi penuturan kepadaku, tapi fokus mataku tertujuh pada sayatan di pergelangan tangannya.
"Kak ini kenapa?" Tanyaku, tapi Kak Ardan selalu menutupi setiap kali aku bertanya. Selalu saja banyak alasan yang dia berikan.
"Kalau ada sesuatu Kak Ardan bilang ya, jangan bikin isel khawatir." Ujarku, menatap penuh harap ke arah Kak Ardan.
"Iya, Kak Ardan bakalan bilang ke Isel supaya Isel nggak khawatir, janji deh." Aku tersenyum mendengarkan jawabannya.
Tapi sayangnya semua perkataan Kak Ardan bohong, dia tidak menepati janji. Mama dan Papa yang selalu Sayang kepadanyapun tak pernah ia hiraukan, aku tau Kak Ardan membenci ke dua orang tuanya sedari dulu karena tak pernah di berikan kasih sayang yang cukup. Tapi aku tau, sebenarnya Papa dan Mama sangat menyayangi kita berdua walaupun caranya salah.
Sampai pada di mana hari-hari mengerikan itu terjadi, hari dimana aku selalu mendengarkan jeritan bahkan rintihan orang kesakitan. Aku khawatir karena suara itu terdengar dari arah kamar kak Ardan.
"Kak Ardan? Kakak baik-baik aja kan?" Aku berusaha mengetuk pintu kamarnya.
Tapi Kak Ardan selalu menjawab dengan kata, "Kakak nggak kenapa-kenapa, Isel jangan khawatir ya." Gimana aku nggak khawatir, dia berteriak dengar keras seperti orang kesakitan.
"Kalau butuh sesuatu, bilang ke Isel ya kak." Ujarku, dia hanya menjawab iya. Tapi perasaan khawatir kian menjadi setiap menit, detik, bahkan jam.
Langkah kakiku berjalan menyusuri anak tangga, berlalu meninggalkan Kak Ardan yang sendirian di kamarnya, aku menyesal seharusnya aku tak meninggalkannya waktu itu tapi semua itu sudah terjadi. Walaupun aku menyesal kejadian itu takkan bisa aku lupakan.
"Terus sekarang kakak lo ada dimana?" Aku menoleh ke arah Satria, aku tersenyum getir mengingat semua kenanganku bersama Kak Ardan.
***
TBC
Hai para pembaca gimana sama part ini makin nggak jelas ya, atau kalian udah nemuin teka-teki Ardan.
Jangan bosen-bosen ya sama ceritaku yang amburadul ini, nikmati aja wkwk.
Jangan lupa comentnya ya, biar aku makin semangat nulisnya, dan nggak ngaret lagi kayak kemarin
Dan nantikan kejutan-kejutan dari cerita Sagi.
See you di next chapter selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGI ✔ [SELESAI]
Novela JuvenilPertemuan Satria dan Gisel terdengar sangat absurd, berawal dari toko buku yang sering Gisel kunjungi ia di pertemukan dengan sosok Satria yang terlihat gembira ketika bertemu dengannya. Gadis itu sempat kesal dengan tingkah laki-laki yang baru bebe...