31

19 9 0
                                    

Vote dulu sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading



































"Lo mau apa lagi?" Ujarku marah.

"Gue cuman mau liat lo mati, sama kayak kakak lo itu." Aku menatapnya dengan sinis.

"Lo gak bisa nyalahin Kakak gue Chel, kenapa pas waktu kejadian itu lo mau." Ujarku, dia hanya diam membisu.

"Gak bisa jawab? Lo punya mulutkan? Kalau punya ngomong, jangan diem aja lo bukan batu." Satu tamparan melayang di pipiku.

Rasanya panas sekali, tapi ini semua tak sebanding sama rasa sakitku ketika aku mengetahui wanita dihadapanku sudah di hamili oleh kakakku sendiri.

"Lo mau tampar gue berapa kalipun, itu semua gak sebanding sama rasa sakit yang gue rasain waktu gue denger lo udah berbuat Zina sama Kakak gue." Aku menunjuknya dengan jari telunjukku, tanpa perduli rasa takut yang sedari tadi hinggap di pikiranku.

"Gisel...Gisel lo itu cewek tolol ya, lo masih mikirin Kakak lo yang udah berbuat dosa itu, emang gila." Ujarnya menghinaku.

"Lo itu lebih menyedihkan, dari apa yang gue kira."

Aku menatapnya tak mengerti.

"Lo masih nggak tau, maksud dari perkataan gue?" Ujarnya lagi.

"Kakak lo cuman sayang sama gue bukan sayang sama lo, dia gak mau tanggung jawab karena dia gak mau ngerusak citra Papanya."

"Sayang sama lo?" Tanyaku menatap sinis.

"Sekarang gue tanya, bego gue atau lo?"

"Jelas bego lo lah." Ujar Rechel memandangku remeh.

"Gini ya cewek gila, coba lo pikir lagi kakak gue gak mau tanggung jawab dan lo malah ngegugurin kandungan lo seharusnya lo tuh mikir lo yang bodoh bukan gue. Dosa apa yang lo perbuat di dunia ini lo gak mikir buat kedepannya, lo itu emang cewek tolol yang nggak punya harga diri Chel." Ujarku mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hati.

Lagi-lagi tamparan yang melayang di pipiku, rasanya perih sekali namun aku tahan. Aku merasa puas melihat wajahnya yang memerah penuh amarah.

"Tampar lagi, kalau itu bikin lo puas." Ujarku dia mengangkat tangannya ingin menamparku, tapi seketika tangannya terhenti di udara.

"Gue udah bilang jangan ganggu Gisel, kalau masih lo ganggu dia. gue laporin lo ke polisi." Aku menatap Radit yang menahan pergelangan tangan Rechel sampai merintih kesakitan.

"Lo nggak Papa kan Sel." Tanyanya sambil memandangku khawatir.

"Gue gak apa." Ujarku untuk menenangkannya.

"Lo kenapa selalu aja muncul." Radit tersenyum sinis kearah Rechel.

"Karena gue tau lo licik, dan lagi Gisel udah gue anggep seperti saudara gue sendiri, gue udah dapet amanah dari seseorang."

"Brengsek!!" Ujar Rechel,  langsung meninggalkan kita berdua.

Setelah kepergian Rechel, aku menatap Radit dengan pandangan curiga. Pasalnya setiap kali aku berpapasan dengan Rechel pasti di situ ada Radit.

"Kenapa?" Tanyanya, sepertinya dia peka saat aku menatapnya.

"Nggak, aneh aja gitu loh." Radit mengangkat sebelah alisnya.

"Aneh?"

"Iya aneh, gue heran deh sama lo kenapa setiap kali gue ketemu sama Rechel lo selalu datang seolah jadi pahlawan." Jelasku padanya.

"Karena gue mau ngelindungin lo, gue di suruh sama Satria." Aku menatapnya.

"Lo di suruh sama Satria, tapi sekarang dia dimana?" Radit menatapku dengan senyuman.

"Kalau Satria balik, lo bakal tau semuanya."

"Sampai kapan, ini udah satu bulan lebih Dit." Ujarku.

"Lo yang sabar, tunggu waktu yang pas dia bakalan balik secepatnya."

"Sekarang lo, gue anter pulang." Aku menggeleng.

"Nggak usah Dit, gue bisa pulang sendiri."

"Kali ini, gak boleh nolak." Ujarnya yang langsung menggandeng tanganku dan masuk ke dalam mobil.

Suasana di dalam mobil hening sekali hanya terdengar suara musik yang mengalun indah di indra pendengaranku.

Andai saja Kak Ardan masih hidup, mungkin keadaanku tak seperti ini. Kukira hidupku akan penuh warna ternyata pemikiranku salah, banyak sekali lika-liku yang harus aku tempuh.

"Sel udah sampai." Ujar Radit

Aku melihat ke arah sekitar, ternyata benar sudah sampai, setelah mengucapkan kata terima kasih aku segerah turun dan masuk kedalam rumah dengan sangat lesu sungguh hari ini sangat melelahkan.

Bertemu Rechel sangat menguras tenaga hingga rasanya ingin emosi. Perbuatannya sungguh keterlaluan untung saja kali ini aku bisa menerima takdir atas kepergian Kak Ardan. Dan menerima segela perkara tentang kejadian masa lalunya bagiku semua itu sudah berlalu dan tinggal menjalani proses di kemudian hari.

***









TBC

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang