30

25 10 3
                                    

Vote dulu sebelum baca
.
.
.
.
.
.
Happy reading
















Sejak kejadian pembicaraanku dengan Papa kala itu, suasana hatiku terus saja merasakan gelisa. Setiap kali aku pergi kemana-mana seperti ada orang yang mengikutiku dari arah belakang tapi ketika aku menoleh tak ada siapapun.

Dan sudah satu bulan aku masih belum tau keadaan Satria, entah laki-laki itu pergi kemana. Radit juga tidak memberikanku info mengenai Satria ia bilang hanya

"Satria baik-baik aja." Kata-kata itu sungguh tidak meyakinkan hatiku.

Padahal selama ini aku berusaha keras untuk tidak mengingat apapun tentang dia, tapi semenjak melihat tatapan sendu Satria kala itu aku memikirkan bahwa Satria tidak baik-baik saja.

Mungkin saja hatinya kala itu sangat hancur, bagiku sifat Satria sangat susah sekali ditebak. Orangnya sangat tertutup perihal masalah yang ia rasakan. Dan juga Sikap Satria yang selalu melakukan Self injury, membuatku mengingat tentang Kak Ardan.

"Sel jangan ngelamun terus." Suara Dita mengagetkanku.

"Kenapa akhir-akhir ini lo jadi pendiem banget sih, masih mikirin Satria?" Aku menggeleng dengan cepat.

"Gue gak mikirin dia."

"Terus, lo mikir apaan?"

"Nilai kuliah." Jawabku asal.

"Jangan bohong deh, gue tau kok lo mikirin cowok misterius itu." Aku hanya bisa menghela napas, seberapa baik aku menutupi kebohongan itu Dita lebih pintar dari perkiraanku.

"Jangan terlalu mikirin dia, pikirin diri lo dulu. Gue tau lo mikirin dia karena dia mirip sama Kak Ardan kan." Gisel menatap Dita dengan pandangan sendu.

"Kenapa gue harus di pertemukan Tuhan, dengan orang yang sama kayak Kak Ardan." Aku mengusap wajahku dengan kasar.

"Udah takdir Sel, lo gak boleh nyalahin takdir." Aku berdecak dengan kesal, hatiku berkecamuk seolah tak terima dengan takdir itu.

"Lo tau kan gue gak suka takdir yang kayak gini."

"Suka gak suka, lo harus terima." Ujar Dita menepuk bahuku.

"Makan baksonya Mang Parjo yuk, laper gue." Mau tak mau aku beranjak dari dudukku.

Langkah kaki kita berdua keluar dari toko buku, baru beberapa langkah Radit datang menghampiri kita berdua.

"Kak Radit!!" Seru Dita langsung memeluk Radit, aku yang melihat itu memutar bola mata malas.

"Pelukannya udah?" Sindirku.

Dita menatapku dengan wajah tanpa dosanya dan Radit dengan sikap salah tingkahnya.

"Hai Sel." Aku hanya tersenyum, menatap Radit.

"Kalian mau kemana?"tanyanya.

"Mau ke Mang Parjo beli bakso, lo ikut?" Ujarku, Radit menatap Dita sejanak dan mengangguk.

Mereka berdua berjalan menuju perempatan jalan, sesakali mereka bertiga tertawa. Bukan aku tepatnya tapi Dita dan Radit yang asik berbicara.

Sebenarnya malas sekali melihat kedua orang yang sedang kasmaran, tapi mau bagaimana lagi semua sudah terlanjur. Dan ia tak bisa apa-apa.

"Hmm Sel, gue nanti mau ngomong sama lo." Aku hanya mengangguk dan mempercepat jalanku agar sampai di tempat Mang parjo.

Sesampainya aku ditempat Mang Parjo banyak sekali pembeli yang mengantri. Aku mencari tempat duduk yang menurutku nyaman.

Di tempat ini mengingatkanku pada Satria kala itu, dengan bodohnya sikap laki-laki itu yang asal ceplos saat bicara membuat moodku hancur. Mengingat itu semua membuatku sedikit tersenyum tipis.

"Kenapa lo senyum-senyum kayak orang gila." Lagi-lagi suara Dita mengagetkanku, aku segera memasang wajah datar.

"Lo kenapa sih, suka ngagetin gue?"

"Udah kebiasaan, udahlah pesen dulu laper."

"Mang Parjo, bakso 3 mangkok ya satunya pedes banget." Radit menatap Dita.

"Siapa yang suka pedes?" Dita menoleh.

"Itu anak itik." Ujar Dita sambil menatapku.

"Gue anak manusia bukan hewan." Radit hanya menggeleng, melihat tingkahku dan Dita.

"Neng ini baksonya, silahkan dinikmati." Ujar Mang Parjo ramah.

Aku langsung memakan bakso itu dengan lahap, tanpa memerdulikan tatapan Radit dan Dita.

"Lo laper banget apa gimana?" Aku tak memperdulikan ucapan Dita.

"Sel gue mau ngomong sama lo serius." Aku menoleh ke arah Radit sebentar dan melanjutkan aktifitas makanku.

"Kalau mau ngomong, ngomong aja."

"Bentar lagi Satria balik." Aku langsung tersedak, mendengar ucapan Radit.

"Pelan-pelan atuh Sel." Dita langsung memberiku minuman.

"Serius lo?" Tanyaku masih tidak percaya.

Radit mengangguk dengan senyuman, tapi anehnya tatapannya seperti orang sedih.

"Tapi sekarang kabar dia gimana?" Tanyaku lagi.

"Jawaban gue masih sama, dia baik-baik aja." Jawaban dari Radit masih belum membuat hatiku puas.

"Syukur deh kalau misal, dia baik-baik aja." Ujarku memaksakan senyuman.

"Seneng kan lo Satria mau balik." Goda Dita.

"Apaan sih lo." Ujarku jengah.

Mendengarkan kabar bahwa dia baik-baik saja sudah membuat hatiku tenang, apalagi ketika Radit memberitauku tentang kembalinya Satria. Senyumku semakin merekah, dan aku tidak sabar menunggu kedatangannya. Meski nanti kita berdua bertemu harus ada perseteruan semua itu bisa di atasi.

***

TBC

Hai gimana sama part ini ada yang kangen sama Satria?

Jangan lupa coment yang banyak ya biar aku makin semangat nulisnya.

Dan nantikan kejutan di chapter selanjutnya

See you

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang