13

34 11 21
                                    

Vote dulu ya sebelum baca
.
.
.
.
.
.
.
.
Happy reading





"Terus sekarang kakak lo ada dimana?" Aku menoleh ke arah Satria, aku tersenyum getir mengingat semua kenanganku bersama Kak Ardan.

"Kak Ardan udah tenang disana." Perlahan air mataku menetes.

"Maksud lo, dia meninggal?" Aku mengangguk, menjawab pertanyaannya.

"Maaf Sel, gue nggak tau." Ujar Satria merasa bersalah.

"Mangkannya itu, gue nggak suka ada orang manggil nama gue Isel, karena itu sama aja ngingetin gue sama kakak gue dan juga nama lo ada Ardannya itu yang bikin gue males sama lo."

"Owh gitu, tapi sekarang masih benci nggak sama gue?" Tanya Satria sambil menatapku dalam.

"Masih, gue malah pingin musnahin lo." Ujarku tersenyum, seperti psikopat.

"Ngapain lo senyum-senyum kayak gitu, gue nggak takut yang ada gue makin gemes sama lo." Ujarnya, sambil mengacak-ngacak rambutku hingga berantakan.

"Berantakan bego, susah tau ngerapihinnya."

"Jangan ngambek dong, sini gue rapihin lagi." Dia sama sekali tidak merapikan rambutku yang berantakan, dia malah mengacak-ngacak rambutku dan membuatku kesal.

"Satria baja karatan, awas lo ya!!" Teriakku sambil mengejarnya, langkahnya sangat lebar membuatku kelelahan.

"Capek kan lo, mangkannya jangan sok- sok an ngejar gue udah tau pendek masih aja ngelakuin hal konyol." Ejeknya, membuatku geram.

"Dari pada lo udah tua, tapi masih aja suka nguntit." Ujarku balik mengejeknya, tapi dia malah tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu.

"Sel sini deh, duduk lagi!" Perintahnya sambil menepuk bangku kosong yang ada di sebelahnya.

"Nggak mau lo resek." Tolakku mentah-mentah.

Dia berdiri menghampiriku yang masih berdiri, seolah-olah aku tak melihatnya menghampiriku, "Lo nggak capek berdiri terus?" Tanyanya kepadaku, jujur aku capek tapi kelakuan Satria membuatku geram.

Dia menarik tanganku, "Apaan sih lo narik-narik tangan gue, emang lo pikir gue kambing?" Ujarku sambil melepas genggaman tangannya, tapi lagi-lagi dia berusaha menarik tanganku, akhirnya aku pasrah.

"Gini dong nurut, kan gue seneng liatnya." Ujarnya tersenyum lebar.

"Lo seneng, gue eneg bego." Ujarku sarkas.

"Kasar banget sih lo, jadi cewek." Protes Satria, aku sama sekali tak memperdulikan omelannya.

"Lo kenapa bolos? Yang gue tau lo nggak pernah bolos sama sekali tuh." Aku tak menjawab pertanyaannya, aku berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Satria yang sudah berteriak memanggil namaku.

"Astaga, ini bocah kenapa suka ninggal mulu sih. He Sel tungguin!!"

Aku tak menghiraukan teriakan Satria, aku terus berjalan menuruni anak tangga satu persatu dengan hati-hati.

"Loh Sel, gue kira lo nggak masuk kuliah." Ujar Adam, yang berpapasan di hadapanku.

"Eh Kak Adam, aku masuk kok cuman lagi gak enak badan aja jadi aku ke UKS, aku duluan ya kak." Aku melihat Satria yang, berada di belakangku, dia menatapku dengan pandangan sulit di artikan, tapi masa bodoh dengan pandangan Satria aku terus saja berjalan.

Dan berhenti di halte sebelah kampus, untuk memberi tau Pak Pardi bahwa aku ingin di jemput sekarang juga.

"Sel ayo naik!" Tita seseorang dari balik kemudi, aku sangat muak dengan orang itu walaupun tadi aku sudah menceritakan segala hal kepadanya.

"Gak mau, udah pulang sana. Gue nunggu jemputan." Dia keluar dari mobilnya, dan berjalan menghampiriku. Banyak sekali mahasiswa yang melihatku sedang berdebat dengan cowok gila ini.

"Kalau lo nggak mau naik, gue seret sekarang juga." Ujarnya mengambil ancang-ancang, memegang pergelangan tanganku.

"Iya-iya gue naik, dasar cowok sinting." Aku menghentakkan kakiku, dan berjalan membuka pintu mobil dengan mood yang sudah hancur.

Satria juga menaiki mobil dengan senyum yang membuatku muak, aku tau ini akal-akalannya saja tapi apa boleh buat. Banyak sekali tadi yang memandangi kami berdua, kan jadi malu.

Dia menyalakan mesin mobilnya, aku hanya diam malas berbicara buang-buang waktu saja pikirku. Tapi aku juga tidak suka suasana hening seperti ini, mataku menatap jalanan lewat jendela. Berharap, aku dapat menghilangkan rasa bosanku.

"Sel jangan diem aja." Dia membuka suara, tapi fokus matanya terus menatap ke arah depan.

"Terus, lo mau gue ngoceh kayak burung beo gitu?" Tanyaku dengan malas, demi apapun aku ingin memusnahkan Satria sekarang juga.

"Nggak juga sih, tapi kalau diem gitu cantik lo makin nambah." Aku tau dia hanya membual, dengan rayuan sampah khas seorang playboy.

"Gue nggak mempan, walaupun lo gombalin dengan kata-kata tipu muslihat kayak gitu." Ucapku, lalu aku memalingkan pandangan ke arah jendela. Dan aku tersadar bahwa ini bukan arah jalan ke rumahku.

"He lo mau bawa gue kemana? kan seharusnya kita belok kanan kenapa belok kiri." Protesku, tapi sepertinya Satria berusaha tak menghiraukanku.

"Satria baja karatan, lo dengerkan yang gue bilang tadi."

"Iya gue denger." Ujarnya Santai.

"Ini orang apa bukan sih, ngeselin banget." Batinku.

"Lo diem aja ya! nanti juga bakalan tau kok." Demi Tuhan, ingin sekali aku menjambak rambut Satria. Tapi kalau aku jambak rambutnya, yang ada kita berdua tertabrak.

Aku mengeluarkan ponselku, dan memasang headset untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanku, dari pada harus mengurusi si cowok gila yang suka ngatur ini.

***




TBC

Halo gimana sama part ini seru atau malah ngebosenin? Mumpung aku lagi semangat update, jangan lupa comentnya ya biar aku makin semangat update part-part selanjutnya

Dan nantikan kejutan-kejutan di cerita Sagi

See you di next chapter selanjutnya

SAGI ✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang