°Chapter 38

47 7 0
                                    

Rombongan polisi terlihat melesat dari kediaman Bamantara. Begitu pula Andin, wanita itu langsung masuk ke dalam mobilnya dan mengekori mobil polisi yang membawa suaminya pergi. Wanita itu sudah tahu kalau pada akhirnya sang suami akan menyerahkan diri jika pembunuh Reand sudah dijebloskan ke dalam penjara. Dia pun meneteskan air mata.

"Kalian berdua masuk ke dalam rumah," perintah Hendra pada kedua putranya. Sebenarnya pria itu masih terkejut, namun ia tidak punya waktu. Sekarang yang harus ia lakukan adalah meminta penjelasan dari kedua teman masa mudanya itu.

"Om, saya boleh ikut juga?" Damara mengikuti langkah Hendra.

"Tidak perlu. Kamu pulang saja, nanti orang tuamu nyariin," tolaknya halus.

"Tapi, om ... kak Adelia." Damara menunjuk wanita di sebelahnya. "Sebelumnya dia minta ditemani kalau polisi manggil dia ke kantor polisi sebagai saksi di kasus ini.

Dan karena itu juga dia sampai memberanikan diri untuk muncul," jelas Damara.
"Ah, baiklah. Kalau begitu mari."
Mereka pun pergi, meninggalkan Candra dan Cakra yang masih berdiri di halaman depan rumah.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Cakra seusai mobil papahnya melaju pergi bersama Damara. Rasanya ia seperti orang bodoh di sini. Dia tidak tahu apa-apa, selain kebencian semu untuk saudara kembarnya.

"Gue sama sekali gak ngerti ...." tambah Cakra lagi. Suaranya terdengar parau.

Pandangan Cakra pun menipis bersama genangan liquid di sekitar matanya. Dia menatap Candra dengan tangan yang mengepal.

"Kenapa lo diem aja, Candra?!" bentaknya dengan tangan yang sudah menarik kerah baju Candra.

Helaan napas terdengar dari bibir Candra. "Kita masuk dulu. Gue bakal cerita semuanya."

Berselang beberapa menit. Cakra terlihat menunduk dengan rahang yang mengetat. Giginya menggertak dan darahnya begitu mendidih ketika mengetahui semua kebenaran tersebut. Cakra mendecih.

"Gue gak nyangka, ternyata selama ini penjahat brengsek yang nabrak mamah adalah papahnya Sasa," hinanya sambil menahan amarah.

Candra menepuk bahu Cakra. Ingin menenangkan, namun seketika itu ia tersentak. Tatapan Cakra terlihat menyimpan luka dan dendam.

"Enggak, Cakra. Jangan lakuin apapun karena marah," ujar Candra di saat Cakra memasang seringaian aneh.

"Dengar, cukup orang tua kita dan orang tua Sasa aja yang kelakuannya kayak bocah, lo jangan ikut-ikutan kayak mereka."

"Sasa harus bayar semuanya," kata Cakra datar, membuat Candra membulatkan mata.

"He--" Tangan Cakra menepis genggaman Candra di bahunya. Cowok itu pergi tanpa mengatakan apa-apa.

"Cakra!"
Panggilan Candra tidak ia hiraukan.

Di lain sisi. Ponsel Sasa terus berdering tanpa henti. Cewek itu masih acuh padanya setelah melihat kontak yang menghubunginya adalah sang mamah. Seperti biasa, mamahnya pasti hanya ingin mengatakan kalau minggu ini mereka tidak pulang. Sasa sudah bosan mendengarnya.

"Kenapa nelpon selarut ini? Sasa ngantuk banget, Mah." Akhirnya Sasa mengangkatnya karena terserang sakit kepala. Dia tidak bisa tidur akibat deringan ponselnya yang terus menghantui.

"Papah kamu ...."

Ponsel Sasa lepas dari genggaman setelah mendengar penuturan Andin. Tenggorokannya mengering sesaat, berbeda dengan kelopak matanya yang sudah merembeskan cairan bening. Dengan segera Sasa meraih ponselnya dan berlari memanggil pak Jono.

***

"Cakra?" tanya cewek dengan kacamata bulat itu, memastikan. Sasa mengangguk.

Cewek yang ditanya oleh Sasa pun terlihat menyapu pandangannya ke seluruh ruang kelas. Tidak ada tanda-tanda keberadaan cowok berpenampilan urakan itu di sana. Begitu pula teman-temannya.

My Boy is a Hacker (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang