°Chapter 20

57 11 0
                                    

Seorang lelaki muda terlihat memasuki sebuah ruangan kedap suara. Derap langkah kakinya menggema menghiasi keheningan di ruangan itu.

"Pak, siap berangkat sekarang?" tanyanya sopan.

"Oh, ya. Ayo berangkat." Hendra bangkit dari duduknya dan berjalan mendahului lelaki dengan nametag Refan Aska Wijaya itu. Dia adalah orang kepercayaan Hendra--tangan kanan. Begitu percayanya Hendra pada sosok ini.

Selama kurang lebih sepuluh tahun Refan mengabdi untuknya. Di pertemuan pertamanya dengan Refan, ketika anak laki-laki itu berusia lima belas tahun. Hendra bisa melihat kesuksesan dalam dirinya. Terlebih ketika Refan bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.

Tidak ingin menyia-nyiakan bakatnya, akhirnya Hendra memutuskan untuk membawa Refan. Memberinya pekerjaan dan membimbingnya di perusahaan yang ia dirikan.

Menurut Hendra, Refan adalah anak yang jenius. Namun ada satu hal yang membuat Hendra sedikit terheran-heran. Latar belakang pemuda itu. Bahkan sampai hari ini, ia belum tau detail keluarga Refan. Yang ia tahu, ayah Refan adalah seorang pelatih basket yang sebentar lagi akan pensiun dan ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Hanya itu saja.

"Apa Anda sudah makan, Pak?"

Refan memperhatikan punggung kokoh dari pria yang melangkah di depannya ini.  Sepertinya lelaki tersebut sedikit khawatir, mengingat beberapa tahun ini bosnya terlalu sibuk, sampai-sampai perihal makan saja harus ia ingatkan.

Hendra mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu beralih pada Refan. "Nanti di kantor saya makan."

"Mau ke mana, Pah?" tanya Candra. Cowok itu baru saja pulang sekolah. Dia turun dari motornya dan menghampiri Hendra yang sudah melenggang--menuruni beranda rumahnya yang bertangga.

"Tugas kamu itu cuma sekolah. Gak usah ikut campur papa mau apa atau mau ke mana," jawabnya dingin. Kemudian berlalu pergi, diikuti Refan yang menepuk bahu Candra sambil berkata, "Jangan diambil hati."

Candra terus memerhatikan papanya yang mulai masuk ke mobil. Sampai mobil itu pun melesat--meninggalkan dirinya yang masih terpaku di sana.

Sedikit mengenang masa lalu, Candra mengerutkan alisnya sedih. Dulu, papahnya tidak bersikap demikian.

"Andai aja mamah gak dorong gue waktu itu, mungkin sekarang mamah masih hidup."

Ini semua terjadi karena dirinya.

***

Seorang pria yang sedari tadi menatap layar komputernya, terlihat menoleh ke arah belakang. Di atas sofa single itu, kedua pasang netranya menemukan sosok anak laki-laki yang asik bermain video game.

"Clo ... Clovis ...." panggil Hendra sambil mengibaskan tangannya. Anak laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Clo itu mengangkat dagunya dan tersenyum polos. "Iya, Pah?"

"Sini deh. Papah mau ajarin sesuatu yang seru," ujar Hendra menggoda.

"Hah? Apaan? Di dunia ini gak ada yang lebih seru dari main game!" balas Candra tidak percaya, kemudian ia kembali menjatuhkan atensinya pada benda persegi panjang yang digenggamnya. Mana ada yang seperti itu.

"Masa sih? Kalau papah bilang kamu bisa ciptain game dengan selera kamu sendiri, gimana? Bukannya itu lebih seru dari main game?" Hendra tidak akan menyerah. Kenapa? Karena ia ingin Candra bisa jadi seperti dirinya. Setidaknya bakat yang ia miliki dalam dunia komputer harus dimiliki oleh salah satu putranya.

"Beneran, Pah?!" Candra tampak berbinar-binar mendengarnya. Menurutnya, itu sesuatu yang menakjubkan!

"Iya."

My Boy is a Hacker (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang