°Chapter 26

45 8 0
                                    

Masih di kantin. Sasa memerhatikan Cakra yang baru saja berdiri untuk mengambil pesanannya.

"M-makasih dan maaf," ucap Sasa di saat Cakra meletakkan dua mangkok bakso di meja mereka.

"Buat?" tanyanya setelah duduk di bangku yang berada di depan Sasa.

"Minjemin bahu lo dan sikap kasar gue selama ini. Gue gak tau malu ya," ucap Sasa tersenyum miris.

Cakra tersenyum. "Lo tau gak konsep dalam investasi?"

"Gue anak IPA," jawab Sasa yang refleks membuat Cakra terbahak.

"Kalau gitu gue ganti pertanyaan." Cakra menatap intens Sasa dan berbisik pelan, "Lo tau simbiosis mutualisme?"

"Ya. Hubungan yang saling menguntungkan. Memang apa hubungannya?" Sasa sama sekali tidak tersenyum, masih memikirkan kejadian kemarin.

Malu ia pada dirinya sendiri. Pada Cakra yang dengan tangan terbuka menawarkan bahu untuknya, meski selama ini selalu mendapatkan perlakuan kasar darinya.

"Lo minjem bahu gue dan gue bisa meluk lo dengan tenang. Bukannya kita sama-sama saling menguntungkan? Jadi lo gak perlu minta maaf atau sekedar berterima kasih. Lagian ...." Cakra memerhatikan Sasa yang mengaduk-aduk baksonya. "gue masih terbayang-bayang pas lo meluk gue kemarin. Sampe kebawa mimpi pula."

Sasa membulatkan matanya. Baru saja ia sadar bahwa cowok di depannya ini tidak pantas diberi kebaikan hati.

"Lo!" Tangannya yang memegang garpu, langsung mengacung pada Cakra. "Jangan mimpiin yang iya-iya!"

Satu sudut bibir Cakra terangkat. Wajah Sasa yang seperti ini adalah favoritenya. Cowok itu menggenggam tangan Sasa dan menusuk bakso di mangkuknya, lalu menyuapi dirinya menggunakan tangan Sasa.

"Canda kok," ucap Cakra yang mengacak gemas puncak kepala Sasa.

"Kenapa lo selalu bikin gue kayak gini?" tanya Sasa menahan denyut jantungnya yang tiba-tiba memburu.

"Gue bener-bener sayang sama lo, Sa. Gue suka sama lo. Apa itu belum cukup buat lo ngerti perasaan gue? Apa gue perlu teriak di lapangan biar lo ngerti, heum?" tukasnya. Sasa tertunduk.

"Gue mau percaya--"

"Seriusan, Sa?!" potong Cakra senang.

"Enggak!"

Sasa menggigit bibir bawahnya. Dia bimbang dengan perasaannya sendiri. Tidak, lebih tepatnya ia gengsi mengakuinya. Cakra menghela napas.

"Cuma satu yang gue minta dari lo." Cakra beralih tempat ke sebelah Sasa, lalu menarik kepala cewek itu agar bersandar ke bahunya. "Di saat lo merasa sedih, pinjem bahu gue lagi. Libatin gue di setiap masalah lo dan jangan pernah merasa sendiri karena gue bakalan selalu ada buat lo. Kalaupun ada yang jahatin lo, biar gue yang jadi tameng buat lindungin lo."

Sasa tersenyum kecil mendengarnya. Cuma satu konon. "Bisa lepas kepala gue gak? Bukan muhrim."

"Bazeng. Balas yang bener dong, Sa!" Sherly angkat bicara. Sedari tadi cewek berambut sebahu itu menyimak percakapan keduanya bersama Deren dan Arhab. Mereka duduk di belakang Sasa dan Cakra sambil menguping.

"Ho'oh. Gak ada romantis-romantisnya. Kurang garem ah," tambah Deren yang diangguki oleh Arhab.

"Ya, ters--" Sherly menyeret Sasa menjauh.

"Eh, micin. Sekarang gue tau kenapa sampe sekarang lo masih jomlo, padahal muka lo mumpuni buat jadi fucek girl."

"Kenapa?"

"Lo itu bego. Kak Cakra udah terang-terangan banget itu. Astaga, gila lo ah. Gue jadi gemes sendiri."

Cakra hanya terdiam memerhatikan Sasa yang diprotes habis-habisan oleh Sherly di sana. Sesekali ia tersenyum. Entahlah. Sekarang ia hanya ingin melindungi Sasa. Melindungi sesuatu yang begitu ia sayangi dengan sekuat tenaga. Karena, ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.

***

Sebuah mobil menghentikan lajunya tepat di depan sebuah Sekolah Menengah Pertama. Wanita itu menoleh pada anak laki-laki di sebelahnya dengan senyuman lembut.

"Haish, kenapa sih pake repot-repot mampir ke sekolahnya? Kita baru tiba, harusnya tunggu di rumah aja. Kak Candra 'kan pulang sebentar lagi!" protes anak laki-laki itu sambil memasang wajah cemberut.

Bukan tanpa alasan ia berkata demikian. Beberapa menit yang lalu, mereka baru saja tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Cakra lelah, namun sang mamah malah menariknya pergi untuk menemui Candra--kembarannya. Mamahnya ini memang tidak punya kesabaran.

"Kamu tuh ya." Ranti mencubit gemas hidung Cakra sambil berkata, "Mamah kangen tau sama kakak kamu. Memangnya kamu enggak kangen? Ayo turun sama-sama."

"Enggak!"

"Adek durhaka," ujar Ranti menutup mulutnya dramatis.

"Da da da, Cakra gak peduli. Sana cepetan dijemput!"

Ranti tertawa jenaka ketika putranya ini mendorongnya untuk segera keluar dari mobil.

"Haha, iya-iya. Anak cowok kok bawel banget."

"Up to me!"

Ranti hanya menggeleng-geleng sambil tertawa. Kemudian ia segera turun dari mobil. Sambil mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangannya, wanita itu melenggang di trotoar.

Melihat Candra yang melangkah keluar gerbang sekolahnya, Ranti langsung melambaikan tangannya.

"Candra, mamah pulang!"

Candra mengangkat dagunya. Kacamata yang bertengger di hidungnya, ia posisikan dengan baik ketika mendengar suara yang tidak asing. Matanya memicing jauh ke depan. Candra melebarkan pandangannya dengan senyuman yang mengembang.

"Mamah!" Candra ikut melambaikan tangannya ketika mendapati Ranti yang berada di seberang jalan. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari menghampiri sang mamah yang begitu ia rindukan.

DEG!

Ranti mendelik lebar. Napasnya memburu ketika melihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari sisi kanan, sedangkan Candra sudah berlari ke tengah jalanan. Refleks kedua kakinya mengambil langkah dengan tergesa.

"CANDRA, AWAS!!"

BRUK!

Wanita itu terguling di atas aspal dengan darah yang membanjir di area pelipis dan kepala belakangnya. Candra yang berhasil di dorong menjauh oleh sang mamah pun terduduk membatu di tepi trotoar. Wajahnya tampak begitu syok melihat kondisi Ranti yang tidak bergerak lagi.

Semua orang yang melihat kejadian itu tampak terkejut. Mereka menghampiri si tersangka penabrakan, namun seolah tidak memiliki hati nurani, pemilik mobil itu malah menginjak pedal dan melaju pergi.

"Mamah!" Cakra berlari setelah membanting pintu mobil--menuju mamahnya yang sudah dikerumuni orang-orang. Air matanya tumpah, begitu pula Candra yang berada tidak jauh darinya.

"Ma ... mah ...." ucap Candra parau. Dia berusaha bangkit, namun kakinya enggan bergerak. Rasanya sekujur tubuh anak laki-laki itu mati rasa.

"Candra, minum air dulu." Wali kelas Candra mencoba memberikan air mineral padanya.

Cakra melemparkan tatapan tajam pada sang kakak. Ini semua karena dia. Jika saja saudaranya itu melihat-lihat sebelum menyeberang, mungkin mamah mereka masih hidup.

***

Candra mengerjapkan matanya, lalu ia memerhatikan sekeliling. Ada banyak komputer di sana. Candra menghela napas berat. Tampaknya ia ketiduran saat mencari informasi mengenai Sasa.

Gue mimpiin kejadian itu lagi, batinnya termenung.

Pintu lab komputer terbuka. Pak Meka dan Damara masuk sambil berbincang ringan. Sontak saja Candra mengusap wajahnya. Lalu kembali menjatuhkan atensinya pada layar monitor di depannya yang masih menyala.

My Boy is a Hacker (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang