°Chapter 30

42 7 1
                                    

Sebuah mobil terparkir di depan rumah bercat putih, bertingkat dengan bagasi di samping kirinya. Candra dan Damara baru saja tiba di rumah Radit. Tanpa memperlambat waktu, Candra pun keluar dari mobilnya dan menuju pintu rumah sang pemilik kediaman.

Mereka berdua datang bukan tanpa alasan. Terkhusus Candra yang menginginkan sebuah kejelasan. Sebenarnya apa yang terjadi? Permasalahan macam apa yang membuat Adi, selaku papah Sasa menyimpan rekaman di mana Hendra terlihat sebagai penjahatnya?

Tok tok tok

Ketukan samar itu membuat sang pemilik rumah membuka pintunya. Sosok pria dewasa yang Candra ketahui adalah Radit, sahabat papahnya menyambut mereka di depan pintu.

"Ini Candra, ya?" Pria dengan kemeja biru muda tersebut terlihat memastikan.

"Iya, Om," jawab Candra dingin seperti biasanya.

Cowok itu memerhatikan pria di depannya ini. Sekarang ia sudah benar-benar yakin bahwa pria misterius yang waktu itu adalah Radit.
Radit mengalihkan pandangannya pada Damara. “Dan siapa ini?”

“Oh, ini teman saya. Namannya Damara.”

“Senang berjumpa dengan anda,” ujar Damara dengan sopan. Radit mengangguk dan mempersilakan keduanya masuk.

"Bi Ina," panggil Radit pada asisten rumah tangganya. Suaranya sedikit meninggi, sehingga bi Ina yang berada di lantai atas pun bisa mendengarnya dan segera menghampirinya.

"Iya, Tuan. Ada apa memanggil saya?" tanya bi Ina sambil menyampirkan kain lap di bahunya dan sedikit membungkuk. Segan pada majikannya.

"Buatkan minum untuk tamu saya. Capuccino, Bi."

"Baik, Tuan." Bi Ina pun segera pergi ke dapur untuk membuat minuman tersebut.

"Melihat kamu yang datang sendiri ke sini, berarti kamu menginginkan penjelasan dari saya kan?" tanya Radit to the point pada Candra yang sudah menatapnya serius.

Candra dan Damara saling melemparkan tatapan, lalu Candra mengalihkan pandangannya pada Radit. “Anda memang peka. Baiklah ….” Candra menatap intens Radit. “apa yang sebenarnya terjadi, Om?”

"Aku pulang." Suara yang sedikti berat itu menginterupsi ketiganya.

Mereka menoleh ke arah pintu utama yang sudah terbuka. Candra dan Damara mengernyit bingung ketika mendapati Refan yang berdiri di sana seraya menggantung kemeja hitamnya di lengan kiri.

"Refan?" tegur Candra yang refleks berdiri, membuat Refan mendelik. "Lo Refan yang kerja sama papa gue kan?" tambah Candra, yang membuat Refan terlihat menegang.

Radit menelan salivanya, sementara Damara sudah memasang mata dan telinganya. Situasi ini menurutnya begitu menarik karena yang ia ketahui sejauh ini, Refan bekerja di perusahaan papahnya Candra.

Jangan sampai gue lewatin hal penting. Fokus Damara.

"Iya. Kenapa kamu ada di sini, Candra?" tanya Refan yang balik bertanya pada Candra untuk menutupi rasa paniknya.

"Kalian saling kenal, ya?" tanya Radit untuk mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Om," ucap Candra.

"Baguslah, Refan anak teman saya yang sudah meninggal. Dia menitipkan Refan ke saya.” Radit mencoba menjelaskan. Tatapannya terlihat saling bertukar isyarat dengan Refan.

Sebenarnya Candra merasa ada yang aneh di sini, tetapi ia tidak menghiraukannya. Dia berusaha memercayai perkataan pria yang ia ketahui adalah sahabat papahnya itu di masa lalu.

"Kalau gitu saya ke kamar dulu, Om." Refan pun pamit kepada mereka dan di saat itu, Damara terus memerhatikan Refan dengan intens.

“Apa yang mau kamu ketahui, Candra?"

“Sebenarnya papah saya ada masalah apa sama keluarga Askara, Om? Dan kenapa waktu itu om bilang semua hal itu pada putri mereka?" tanya Candra langsung to the point.

Sebelumnya, Candra sudah mencari tahu mengenai keluarga Askara ini. Dia juga sudah tahu bahwa ternyata Sasa memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Reand. Namun, meski sudah memiliki banyak informasi, tetap saja Candra masih buram dengan latar belakang penabrakan yang dilakukan papahnya.

"Yang saya tahu, mereka saling dendam. Papahmu, dia menabrak putra Adi dan sebagai balasannya pria itu juga menabrak mamah kamu. Sebaiknya kamu tidak ikut campur urusan ini," saran Radit tenang. Dia tidak boleh terpancing dan membeberkan semuanya pada Candra dan temannya.

Candra mengernyit. Entah mengapa ia tidak bisa memercayai penuturan pria di depannya ini. "Kenapa saya tidak boleh ikut campur, Om? Dan kenapa anda bisa tau sejauh ini? Apa mungkin anda adalah dalang dari semua permasalahan ini?" berondong Candra yang membuat Damara menatap Radit yang terlihat mengepalkan tangan. Cowok itu menelan salivanya.

"Ini bukan soal matematika atau fisika yang pemecahannya harus memakai rumus. Kalian yang masih anak sekolah tau apa masalah orang dewasa? Jangan mengira saya bersikap baik, lantas kamu bisa kurang ajar. Atas dasar apa kamu mengatakan itu kepada saya, huh?" Radit bangkit dari tempat duduknya dan berkacak pinggang dengan emosi yang meluap.

"Jangan, Dra.” Damara mencegah Candra yang hendak berdiri. “Ingat, kita lagi di rumah orang."

"Maaf, Om. Candra gak bermaksud kok. Dia lagi kecapean aja, makanya ngelantur." Damara mengode Candra untuk tetap tenang di tempatnya.

Bi Ina pun datang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino dan meletakkannya di meja. Radit mengingsut ke kursinya kembali.

"Silakan diminum,” ujar asisten tersebut. Damara dan Candra segera menghabiskan seduhan hangat yang disediakan.

"Kalau begitu, kami ijin pamit, Om. Terima kasih sebelumnya," ujar Damara yang baru saja menghabiskan minumannya. Begitu pula Candra yang masih terlihat belum mereda di sebelahnya.

“Iya. Hati-hati di jalan,” balas Radit dan menyeruput minumannya. Ekor matanya sedikit mengikuti langkah keduanya hingga ke pintu rumahnya.

Setelah masuk ke dalam mobil, Candra pun langsung melampiaskan kekesalannya pada stir mobil. Dia memukulnya dengan gigi yang menggertak dan rahang yang mengeras. Damara menghela napas.

“Bisa gak sih, emosi lo diredam dulu? Hampir aja lo buat keributan di rumah orang. Gimana kalo Refan laporin kita ke papah lo. Kita lagi bolos, Dra.”

Candra menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Acuh dengan pernyataan Damara padanya. "Gue makin gak ngerti, Dam."

"Lo jangan kebawa emosi makanya," ucap Damara lagi.

Candra mendecak. "Apa susahnya ngasih penjelasan? Kalau dia gak gitu, gue juga gak bakalan kepancing gini."

"Udah, Dra. Mending kita refreshing bentar. Semuanya gak bisa selesai secara instan sekarang."
“Hm.” Candra pun menginjak pedal dan melaju dengan kecepatan konstan.

Sementara itu, di rumah Radit. Tiba-tiba Refan keluar dari kamarnya dan menghampiri Radit yang masih menetralisir emosinya.

"Papa, kenapa? Ngapain mereka ke sini?" tanya Refan yang sudah duduk di sebelah Radit.

"Candra minta penjelasan soal omongan papah waktu ketemu putrinya Adi. Harusnya waktu itu papah gak undang dia datang.”

Radit mulai menyesal karena waktu itu ia gegabah dan tidak memperkirakan bahwa wajahnya akan ketahuan oleh Candra.

"Apa aku perlu menyingkirkan dia juga, Pah?" tanya Refan dengan raut serius, seolah ia bisa saja melakukan apapun yang diinginkan oleh papahnya.

"Papah bisa urus sendiri." Radit pun beranjak dari ruang tamu dan menuju kamarnya.

My Boy is a Hacker (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang