BRUGH!
Tidak sengaja Sasa menabrak seseorang. Buku-buku itu terlempar, sementara Sasa kehilangan keseimbangannya dan tergelonjak ke belakang. Tubuhnya hampir menyentuh lantai keramik putih itu, namun sebuah tangan sedikit kekar kontan mengalung pada punggung Sasa. Kemudian menariknya menuju ke dekapan yang terlihat hangat.
Sasa yang masih terkejut, kini terdiam seribu bahasa. Bibirnya enggan mengeluarkan sepatah katapun ketika iris coklatnya bertumbukan dengan tatapan tajam dan pekat cowok di depannya itu.
Dia adalah Candra, namun sampai detik ini Sasa masih mengira bahwa cowok itu adalah Cakra yang tidak lain adalah saudara kembarnya Candra.
1 ....
2 ....
3 ....
"Berat."
Satu kata itu, membuat Sasa tersadar.
"Eh, maaf," jawab Sasa malu dengan apa yang telah terjadi dalam hitungan detik itu. Dia segera memisahkan diri dan mengambil buku-buku yang telah terjatuh dengan wajah memerah padam. Bahkan jantung cewek itu berdetak begitu cepat seolah baru saja ia mengikuti lomba lari maraton.
"Gue permisi," ucap Sasa tanpa menoleh lagi. Pura-pura ia terlihat bisa saja. Meski sebenarnya Sasa ingin sekali menyembunyikan wajah kikuknya dari cowok itu.
Mati aja lo, Sasa! Gue harap bisa hilang untuk sementara waktu! batinnya mencak-mencak ingin menghilang dari dunia ini untuk beberapa saat.
Namun ....
"Buku lo ketinggalan satu," ujar Candra seraya memungut satu buku yang berada di dekat sepatunya.
Langkah Sasa terhenti bersama gerakan kelopak mata yang memejam singkat.
Kenapa harus ketinggalan satu sih?! runtuknya dalam hati.
Sebenarnya Sasa tidak ingin berbalik lagi, namun karena buku itu adalah milik perpustakaan, terpaksa Sasa menelan rasa malunya dan berbalik--menghampiri Candra yang sudah menatapnya di sana. Sejenak mereka terdiam, larut dalam pikiran masing masing.
Sasa yang beranggapan bahwa cowok di depannya itu adalah Cakra, tidak tau harus bereaksi seperti apa. Mengingat pertemuan mereka yang selalu membuat dirinya kesal serta merasa akward tak tertolong!
Candra kebingungan dengan sikap Sasa yang terdiam. Dia sulit mengartikan ekspresi yang Sasa tunjukkan untuknya. Tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang seperti ini, Candra pun meraih satu tangan Sasa dan meletakkan buku tersebut begitu saja. Lalu ia segera pergi dari hadapan Sasa.
"Oh ...." Sasa menatap buku cetak matematika tebal yang sudah di tangannya, lalu beralih pada punggung Candra yang sudah berlalu meninggalkannya di sana.
Padahal gue udah canggung parah di sini gara-gara dia, tapi dianya malah biasa aja di sana? Dosa gak sih kalo santet orang?!
Sebenarnya Candra merasa gugup saat bertemu dengan Sasa. Dia juga bingung dengan sikapnya yang berubah aneh ketika bertemu dengan cewek itu.
Apa gue beneran suka sama cewek itu?
***
Di perpustakaan. Seusai mengembalikan buku yang ia pinjam, Sasa memilih untuk sedikit menepi pada bangku yang berada di dekat jendela perpustakaan.
Di sini, cewek itu tampak merenung. Dia masih terdiam, juga terkejut dengan apa yang terjadi padanya beberapa saat yang lalu. Mempertanyakan tentang perasaannya pada Candra yang ia pikir adalah Cakra.
Mengapa dengan satu gerakan itu saja Sasa menjadi luluh dan salah tingkah? Padahal sebelumnya ia begitu marah dan sempat membencinya karena terabaikan oleh sikap dinginnya? Lalu sekarang?
Masih sama kok Sasa membatin dengan pongahnya.
"Gue masih gak suka sama orang bernama Cakr--"
" Good afternoon, my sweetheart!"
Lalu tiba-tiba Sasa mendengar celotehan nyaring yang berasal dari pintu perpustakaan.
"Ibuuuu, Cakra dan kawan-kawan mampir lagi," ujar Cakra sok akrab sembari melipat tangannya di atas meja setinggi dada di depannya.
"Kalian lagi, kalian lagi! Tidak bosan apa dihukum membersihkan perpustakaan terus? Saya saja bosan sampai ingin muntah melihat wajah urakan kalian bertiga," sarkas sang penjaga perpustakaan dibarengi dengan raut jutek dan ketusnya pada Cakra, juga Arhab dan Deren.
Ketiganya tergelak dan mengusik sebagian siswa yang berkunjung untuk mendapatkan ilmu lebih, namun mereka tampaknya tidak peduli. Justru ketiganya semakin menjadi-jadi saja karena terhibur dengan wajah ketus guru honorer yang bisa dibilang cukup cantik dan menyegarkan mata itu. Hampir sebelas duabelas dengan ibu Silva--guru BK mereka yang super 'uwah' itu.
Sementara itu, Sasa mengerutkan alis tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja.
"Itu Cakra? Kok dia ke sini juga sih?" protesnya dengan suara tertahan. Panik ia sekarang.
Dengan cepat Sasa bangkit dari duduknya. Seperti dikejar setan, ia celangak-celinguk mencari celah untuk bersembunyi. Sasa juga tidak tau untuk alasan apa ia harus bersembunyi dari Cakra. Padahal baru beberapa detik yang lalu ia mendoktrin bahwa dirinya sama sekali tidak menyukai cowok itu.
Rak buku di sisi paling ujung menjadi pilihan Sasa sebelum akhirnya Cakra melenggang bersama dengan sapu laba-laba di genggamannya.
"Eh, jirr! Gue bagian situ."
"Gue deket rak itu," ujar Cakra sembari mendekati rak paling ujung.
"Cepetan, jir! Gue mau bolos abis ini. Mau makan cilok."
"Sabar napa. Gue juga mau kal--loh, Sasa?"
Jantung cewek itu sudah menggedor-gedor ingin keluar. Sasa yakin sepenuhnya kalau sekarang jantungnya akan berhenti bersama dengan senyuman tanda tanya di bibir Cakra.
***
Gue ngapain ya tadi? Kenapa gue sembunyi? Kenapa hati gue masih jedak jeduk? Inikah yang namanya cinta? Gak, gak mungkin! Stop, Sasa! Ini tuh imposibble! batin sasa meraung-raung minta ditenangkan.
Tanpa menoleh ke belakang, ia melangkah dengan cepat menuju kantin.
Flashback
"Ngapain nyelip di sini?" tanya Cakra setengah berbisik agar teman-temannya tidak melihat keberadaan Sasa di dekatnya.
"Y-ya suka-suka guelah."
"Hmm, gue tau ... lo sembunyi dari gue ya? Gak usah malu-malu, Sa. Gue gak gigit kok."
"What the--gak guna banget," ketusnya, kemudian segera menyeberang ke sisi lain rak dan berlari melewati pintu perpustakaan. Cakra menghela napas dengan kening mengerut.
Sekelebat ingatan di perpustakaan itu membuat Sasa berdecak tidak karuan dan mengusap wajahnya frustasi.
"Bisa-bisanya gue keciduk sama Cakra. Mau di taro di mana muka gue?!" keluhnya, kemudian terduduk di kursi panjang yang ia temui di dekat koridor.
"MICINNNNN," teriak Sherly dari sisi kanan Sasa, membuat cewek dengan rambut dicepol itu menoleh malas padanya.
"Ha? Apa?"
"Lo kemana aja?! Gue dari tadi nungguin lo lama banget tau dan ternyata lo malah diem disini kek patung! Lo gak tau cacing di perut gue udah dangdutan dari tadi gara-gara nungguin lo apa?!" semprot Sherly dengan panjang × lebar × tinggi seperti rumus mencari volume balok.
Sasa menghela napas panjang; sepanjang jalan kenangan.
"Yaudah. Ayo ke kantin, " ajak Sasa, setelahnya pergi meninggalkan Sherly yang terlihat membuka mulutnya tidak percaya.
"MICINNNNN," teriak Sherly lagi. Menggelegar, hingga Sasa pun harus menutup telinga dan menoleh padanya.
"APA! Lama-lama kuping gue bisa budek gara-gara lo TOA," tukas Sasa yang tampaknya baru saja menemukan julukan baru untuk sahabatnya itu.
"Anj--MICINNNNN. GUE BUKAN TOA, INGET ITU BAIK-BAIK!"
Percuma saja, Sasa sudah melenggang jauh sembari menutup telinganya--meninggalkan Sherly yang mengomel di belakangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Boy is a Hacker (Completed)
Teen Fiction[Sudah terbit di Laskar Publisher, novel masih bisa di pesan lewat Shopee, link ada di bio profil.] Ini bukan kisah cinta biasa. Ini adalah kisah cinta Clarissa Nazela Askara, gadis berparas cantik yang menderita kleptomania. Tentang Candra Clovis B...