5. Gue Temennya Temen Lo

152 28 13
                                    

Buat Naufal,

Yang masih belum tahu gue.

Hm, mulai dari mana, ya? Gue cewek, 17 tahun. Masih kelas 11 yang kebetulan bisa seangkatan sama lo tapi beda jurusan. Gue temennya temen lo. Hihihi, jangan bingung, ya!

Gue cewek yang ngerasa kurang percaya diri sama penampilan. Jadi, gue selalu di kelas. Atau kadang keluar kelas pas ada orderan doang. Atau juga keluar pas ada temennya doang. Tapi sebenarnya gue bawel banget orangnya kalau udah deket.

Gak ada yang menarik yang terjadi di hidup gue. Yang ada mungkin ya kesialan karena gue sering datang terlambat. Terus berakhir sama dihukum setiap Senin.

Entah kenapa kalau setiap hari Senin, gue mesti bangun kesiangan. Padahal udah masang banyak alarm secara berturut-turut.

Kalau dihitung pakai rumus matematika menggunakan pemisalan jarak lo ke gue di sekolah itu 50 m, kira-kira berapa persentase kemungkinan lo mengenali gue?

Dari AN,

Yang bingung nulis suratnya.

Fia menjambak rambut pendeknya sendiri pagi itu di kelas. Dia malah menulis secara asal apa yang terlintas di otaknya tanpa memikirkannya matang-matang.

Setelah mengetahui bahwa cowok yang ditaksirnya ingin mengenalnya lebih dekat, Fia langsung kalap dan menulis semua hal yang dia pikirkan. Padahal dia sudah berusaha untuk menahan diri, tetapi hatinya sepertinya berharap lebih.

Cewek gendut itu melihat tulisannya dari dekat, mulai membacanya dalam hati. Dia mengulum bibirnya, ingin berteriak kesal dan guling-guling di lantai tapi sudah di sekolah.

Jadi dengan satu tarikan napas. Fia melipat kertas itu dan menaruhnya seperti biasa di salah satu pintu loker yang berjejer. Masa bodoh dengan balasan yang akan dia terima nanti.

*

Beruntung pelajaran bahasa Indonesia kali ini, Bu Delia, guru bahasa Indonesia yang memaksa memanggilnya dengan sebutan Bu bukannya Miss seperti guru lainnya itu mengajak 11 MIPA 4 untuk belajar di perpustakaan.

Seperti biasa, Mark akan menghentikan mereka dan mulai menghitung anak-anaknya sebelum menuruni tangga. Kemudian berjalan ke perpustakaan bersama.

Fia merasa napasnya putus-putus karena berjalan terlalu cepat. Tapi dia tak mau menyusahkan temannya yang lain hanya untuk menunggunya istirahat sebentar. Akhirnya dengan muka yang sudah pucat, Fia tetap menaiki anak tangga menuju perpustakaan.

Barulah setelah masuk ke dalam, cewek berpipi bulat itu menghela napas lega. Dia langsung mengambil duduk dan bersandar di salah satu kursi krem yang ada di perpustakaan. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya masih memburu.

Bermenit-menit mereka menunggu di perpustakaan dengan diam karena tak diperbolehkan berbicara dengan keras di sana, Bu Delia tak kunjung datang.

Fia mengangkat kepalanya dari atas meja, mata elangnya memperhatikan sekeliling. Kemudian bangkit, menyusuri rak-rak tinggi berwarna hitam di sana.

Tanpa takut ketahuan, Fia mengambil salah satu majalah. Dibukanya majalah itu perlahan, membuat satu lipatan kertas langsung terjun bebas ke lantai. Fia berjongkok untuk mengambilnya. Lantas, dia menyimpannya ke dalam saku seragam pramukanya dengan cepat saat mendengar suara Bu Delia yang meminta maaf karena terlambat. Buru-buru Fia segera pergi dari sana dan kembali ke tempat duduknya tadi.

Tak biasanya Fia duduk gelisah seperti ini. Cewek itu menggesek-gesekkan telapak kakinya yang berbalut kaus kaki hitam di bawah sana. Jemari pendeknya saling meremas di atas rok cokelat selutut yang dia kenakan. Matanya bergerak gelisah meski telinganya mendengar setiap penjelasan Bu Delia. Dia sangat ingin membaca surat balasan itu! Tetapi hal itu tidak memungkinkan karena sekarang ada banyak temannya di sini.

"Lo kenapa?" tanya Mark yang duduk di sampingnya.

Fia terkejut. Tubuhnya membeku. Dia menoleh kaku pada Mark yang menatapnya khawatir. "Kebelet," rengeknya beralasan. Tidak mau Mark tahu apa yang tengah dia pikirkan.

Mark berdecak. "Kebiasaan!" Kemudian dia mengangkat tangan kanannya, menarik perhatian Bu Delia.

"Ya, Markus? Ada apa?" tanya Bu Delia.

"Fia, Bu. Dia kebelet katanya," adunya sambil menunjuk Fia yang melotot kecil padanya. Tentu saja Mark tak menghiraukan hal itu.

Fia hanya meringis pelan saat Bu Delia menuntut jawaban padanya. Akhirnya cewek gendut itu mengangguk. Dia segera keluar setelah Bu Delia mengizinkan.

Memang benar. Fia menuju ke toilet di samping perpustakaan karena lebih dekat. Dia segera mengunci pintu di belakangnya. Tangannya mengambil kertas yang kini jadi kusut karena tadi terburu-buru saat menyimpannya. Meski begitu, tulisannya masih bisa dibaca.

Buat AN,

Gue bingung sama surat lo. Temen gue banyak, gak mungkin, kan, kalau gue tanyain mereka satu-satu? Bisa makan banyak waktu kalau kayak gitu.

Dan yang jelas gue gak suka matematika! Jadi itung sendiri, oke.

Soal penampilan, gue gak menilai cewek dari penampilannya. Yah, walaupun kadang yang kita liat pertama kali adalah penampilannya. Tapi, tetep aja, be confident!

Gue badboy, yah, seharusnya lo tahu itu kan karena gue dari IPS 4. Gue sering kumpul-kumpul bareng temen cowok gue, kalau yang cewek juga sering, sih, tapi gak sampai larut banget, palingan ya jam 9 udah mentok. Itu pun juga kumpul di Banana Cafe doang karena menunya murah-murah.

Tapi, gue lebih sering kumpul sama Ruby, Mika, Nathan, Alaska, Dewa sama Galang dan punya jadwal perang bantal bareng karena kita sahabat a crab.

Gue suka olahraga, karena itu gue masuk IPS 4 yang isinya atlet semua. Gue suka semua jenis olahraga, tapi yang paling suka itu futsal sama hoki. Ya, meski muka gue imut-imut begini, gue juga pinter olahraga tahu! Jadi jangan remehin badan kecil gue yang sering dikatain bantet.

Udah gendut, pendek pula. Makanya gue harus rajin olahraga.

Hm, kayaknya surat gue panjang banget, ya? Intinya, gue juga suka baca surat-surat dari lo.

Dari Naufal.

Untuk pertama kalinya, Fia merasa balon benar-benar meletus di perutnya. Cowok yang disukainya ternyata bahkan tak memedulikan seseorang melalui penampilannya. Jadi kekhawatiran Fia selama ini sirna begitu saja setelah membaca surat dari Naufal.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang