Naufal tersenyum lebar begitu melihat Fia keluar dari kelasnya. Cewek itu dicolek temannya sambil sesekali melirik ke arahnya. Naufal semakin melebarkan senyumannya.
Ia mendekat ke arah Fia, tapi jadi agak termundur ke belakang karena seseorang memeluknya erat.
“Naufal, ayo balik.” Ruby semakin mengeratkan pelukannya.
Sial. Kenapa di saat begini Ruby mengacaukannya.
“By, gue mau balik sama Fia,” ucapnya pelan, memberi pengertian pada cewek yang memeluknya.
Ruby melepaskan pelukannya. Menatap Naufal tak percaya, matanya berkaca-kaca. “Naufal tadi udah janji,” katanya pelan.
Naufal menepuk dahinya, ia lupa kalau tadi sempat berjanji pulang bersama dengan Ruby, sementara Galang sudah pulang duluan karena katanya ia akan pulang bareng Ruby. Ia mengangkat kedua tangannya, meletakkannya di bahu Ruby dan menatapnya serius. “Ruby, Naufal mau pedekate sama cewek, jadi Ruby pulang bareng Mika aja, ya?”
Ruby terisak, cewek itu menangis keras membuat Naufal kelimpungan menenangkannya.
“Huwa, Naufal jahat!” Ruby memukul-mukul dada Naufal. “Harusnya kalau gak bisa nepatin jangan janji.”
Sampai seorang cowok jangkung datang dan menarik Ruby lembut. “Lo balik aja, biar Ruby sama gue.”
Naufal melihat Ruby yang berangsur tenang dalam pelukan cowok tadi. Seakan tersadar Naufal segera berlari menyusul Fia yang sudah agak menjauh.
“Fia!”
Teriakan Naufal membuat cewek yang agak jauh dengannya itu berhenti. Naufal berlari mendekat dan menggenggam tangannya. “Sorry.”
Fia mengerucutkan bibirnya kesal. “Lo, sih, lama banget jadinya gue tinggal, kan.”
Naufal terkekeh. “Biasa, Ruby emang kayak gitu.”
“Hm ... lo emang deket banget, ya, sama Ruby?” Bahu Fia melemas. Dia seakan sudah tidak punya harapan.
Naufal tahu, ia telah salah bicara menyadari nada bicara cewek di sampingnya berubah. “Enggak, kok, semua IPS empat deket sama Ruby,” katanya mengelak. Tapi memang itu kenyataannya, sih.
Fia hanya mengulum bibirnya ke dalam menyembunyikan rasa cemburunya. Dia sadar diri, lagi pula mereka hanya orang asing yang kebetulan bisa jadi dekat.
“Jadi Banana Cafe, kan?” Naufal bertanya memecahkan situasi sekarang yang agak canggung.
Fia mengangguk bersemangat. Sepertinya dia sudah lupa kesedihannya barusan.Naufal terus menggenggam tangan Fia sampai ke parkiran. Sengaja agar anak-anak yang mem-bully Fia tersadar kalau mulai sekarang sudah ada seseorang yang akan melindungi cewek gendut itu. Dan itu adalah dirinya.
*
“Lo yang bayarin, kan?” tanya Fia begitu melihat menu yang ada di Banana Cafe.
“Apa, sih, yang enggak buat lo,” jawab Naufal tenang.
Naufal ini gak tahu apa kalau ucapannya bikin Fia jadi terbang?
Fia mengulum bibirnya ke dalam, menahan senyum yang hampir terlukis karena ucapan Naufal barusan. Ia kembali melihat-lihat menu di konter. Sayang sekali di sana hanya tertera mi pedas.“Hmm ... mi setan level satu, ayam krispi, banana cupcake, sama strawberry milkshake.” Fia tersenyum ke Naufal yang kini agak ternganga menatapnya tak percaya.
Naufal berdehem singkat. “Lo yakin pesen itu?” tanyanya agak ragu. Fia mengangguk dengan antusias membuat Naufal menghela napasnya pasrah.
“Mi setan level empat sama americano panas sama pesanannya cewek ini,” katanya pada Mbak kasir sambil menunjuk Fia.
Mbak kasir mengangguk dan memberikan struk sekalian nomor meja pada Naufal. Naufal menarik tangan Fia agar mengikutinya ke meja di pojok ruangan setelah menyelesaikan pembayaran.
Fia menaruh tasnya di kursi kosong di sebelahnya kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Beda sama di Burger Thunder, ya?” tanyanya pelan.
Naufal mengangkat alisnya. Cewek di depannya ini gimana, sih? Udah jelas nama rumah makannya beda.
“Ya beda, lah! Udah tahu Burger Thunder surganya burger masih aja tanya,” jawabnya agak ketus.
Fia hanya menyengir. Kembali melihat-lihat sekeliling. Sampai pesanan mereka datang, Fia langsung menyerbu mi-nya dengan lahap. Tak disangka ternyata level satu tidak sepedas yang dia pikirkan.
“Lo beneran bayarin pesanan gue?” tanya Fia mengambil mi-nya menggunakan sumpit.
“Hooh, kan, udah gue bilang apa, sih, yang enggak buat lo,” jawab Naufal tenang sambil meniup-niup americano-nya yang masih panas.
Fia menggigit bibirnya mulai merasa tak nyaman. “Pesanan gue banyak, loh, yakin masih mau dibayarin?”
“Oh. Kalau mau bayar sendiri juga gak apa-apa, sih.”
Fia mengerucutkan bibirnya. Nih, cowok emang gak mau bikin Fia seneng apa?
Naufal meletakkan sumpitnya, menopang kepalanya dengan tangan di atas meja menatap Fia lekat. “Gue yang ngajak lo kesini jadi gue yang bayar.”
“Daripada debat gini mending lo cerita tentang diri lo aja gimana?” lanjutnya.
Fia terdiam. Cewek itu berpikir sebentar sebelum berbicara, “Gak ada yang menarik.”
“Masa, sih?” Naufal menaik turunkan alisnya jahil.
Fia mengangguk. Menunjuk Naufal dengan sumpitnya. “Sekarang lo. Gantian.”
Naufal mendongakkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat apa yang menarik padanya. Sejurus kemudian cowok itu tersenyum jahil. “Gue ganteng, tinggi rata-rata, keren, pokoknya idaman semua cewek, lah. Terlebih lagi gue gembul dan bisa bikin cewek klepek-klepek.”
Fia hampir saja mengumpat, melihat Naufal yang terlalu percaya diri.
“Buktinya lo suka gue, kan?” tanyanya menggoda.
Fia jadi merunduk malu. Merutuki diri karena blak-blakan sama cowok yang disuka.
“Oke, sekarang giliran lo.” Naufal kembali menopang kepalanya dengan tangan di atas meja seakan siap jadi pendengar yang baik.
“Gue gendut, biasa aja atau kata orang lain gue jelek, suka makan, pendek, makanya gak ada yang suka sama gue,” ucapnya pelan menghitung satu persatu kekurangannya.
“Gue suka sama elo, tuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...