19. Ditolak

166 15 0
                                    

Berkat surat dari penggemar rahasianya, kini Naufal berangkat pagi ke sekolah. Guru-guru mulai heran saat melihat Naufal yang langganan di ruang BK jadi tak pernah ke sana sekali pun dengan alasan terlambat.

Ini aneh. Bahkan Lucky yang dekat dengannya mulai curiga. Dia selalu mengekori Naufal ke mana pun cowok itu pergi agar tidak ketinggalan secuil informasi tentangnya.

"Ki, lo ngapain, sih? Gue bukan emak lo, ya," seru Naufal mulai jengah. Bahkan Lucky terus membuntutinya sampai ke kamar mandi dan menunggu di depan pintu.

Lucky hanya menyengir. "Habisnya akhir-akhir ini lo aneh banget. Sebagai teman yang baik jadi gue harus ngikutin lo dan mastiin kalau lo gak kenapa-napa," jelasnya panjang lebar.

Naufal memutar bola matanya malas. Dia langsung mendorong muka Lucky dengan tangannya sampai cowok kurus mirip tripleks tersebut termundur ke belakang. Setelahnya barulah Naufal berlari keluar toilet dengan cepat. Sesekali menolehkan kepala ke belakang, takut-takut kalau Lucky masih mengikutinya.

Dia menaiki tangga dengan cepat. Dua anak tangga sekaligus. Tujuannya adalah perpustakaan. Anak kelasnya pasti tidak akan mencarinya sampai ke sini.

Naufal membuka pintu perpustakaan dengan keras. Napasnya ngos-ngosan saat Naufal melangkah masuk. Dia hanya menyengir tak merasa bersalah saat Mrs. Selvia menatapnya tajam. Naufal mengambil duduk di salah satu kursi krem di perpustakaan.

Masih dengan mengatur napasnya, Naufal mengedarkan pandang. Dilihatnya perpustakaan yang tidak terlalu ramai tersebut. Hanya anak berkacamata tebal saja yang ada di sana dengan buku yang terbuka lebar. Naufal bergidik ngeri melihatnya.

Naufal melirik pada Mrs. Selvia yang sibuk dibalik buku tebalnya. Naufal menghela napas lega. Dia bangkit, mendekati salah satu anak perempuan berkacamata yang duduk tak jauh darinya sedang membaca sebuah buku.

"Ekhem!" Naufal berdeham kecil ketika sampai di samping kursi yang diduduki adik kelasnya. Dilihat-lihat dari badge-nya yang terpasang di lengan atas seragam bagian kiri, dia masih kelas 10.

Adik kelas itu menoleh kaget. Dia tersenyum malu-malu pada Naufal sambil sesekali membenarkan kacamata bulatnya yang melorot.

"Bagi kertas, dong." Naufal menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke depan adik kelas perempuan itu.

"Cepetan sini. Sekalian sama pulpennya, ntar gue balikin," desak Naufal lagi saat adik kelas itu hanya menatapnya. Mungkin saja dia terpesona pada Naufal yang memiliki wajah imut dengan pipi gembulnya. Ah, Naufal jadi tersenyum tipis karena memikirkan hal itu.

Tapi sedetik kemudian rautnya berubah garang. Dia tidak akan terpesona dengan adik kelas berkacamata yang meski memiliki wajah manis itu. Hatinya sudah terpaku pada sosok AN yang membuatnya sangat penasaran.

"Ayo cepetan!" serunya lagi.
Adik kelas perempuan itu gelagapan. Segera menyobek kertas di buku tulisnya dan memberikannya pada Naufal dengan gemetaran. Tak lupa juga pulpennya dia sodorkan padanya.

"Gini aja lama," cibir Naufal pedas sambil merampas pulpen merah muda milik adik kelas itu.

Lantas Naufal kembali pada kursinya semula. Mulai menulis surat yang akan dia berikan pada penggemarnya dengan cepat. Tak peduli meski tulisannya terlihat seperti ceker ayam sekali pun karena memang faktanya tulisan Naufal sangatlah jelek.

Buat AN,

Sekarang hari Senin. Lo udah jadi alasan buat gue semangat ke sekolah biar bisa baca surat dari lo.

Gue selalu ngecek loker biar tahu kalo ada surat dari lo.

Nyatanya kagak ada sama sekali.
Gue selalu naruh surat gue ke buku di perpus. Surat gue selalu gak ada tapi lo gak pernah bales.

Apa cewek selalu kayak gini?

Lo tega banget, ya.

Sengaja narik gas kenceng terus lo lepas.

Dari Naufal.

*

Sepulang sekolah Naufal langsung bergerak cepat menuju ruangan khusus loker. Dia berjalan mengendap-endap dengan kepala yang menoleh kanan kiri sebelum masuk ke dalam setelah dirasa sudah aman.

Dengan penuh kehati-hatian Naufal membuka pintu loker merah tua di depannya. Jejeran stiker tentang sepak bola tertempel tak beraturan di pintu besi tersebut. Kemudian setelah pintu terbuka tampak buku-buku cetak tebal yang berantakan, bahkan ada yang terlipat sampulnya sampai menampilkan kertas putih berisi banyak tinta. Lalu ada tumpukan jersei biru tua dengan sepatu olahraga hijau terang di atasnya.

Tapi, bukan itu yang menarik perhatian Naufal. Melainkan sepucuk surat dengan amplop pink yang berada di tempat paling bawah. Naufal mengambilnya. Matanya berbinar dengan senyuman lebar menghias wajahnya.

Dia sudah menunggu surat ini sejak seminggu yang lalu. Dan sekarang penantiannya terbalas.

Buat Naufal,

Yang nunggu surat gue.

Gue gak sakit ataupun di skors. Gue cuma kecewa aja sama lo.

Lo sama aja kayak yang lain.

Lebih baik kita udahin aja surat-suratan gak jelas ini.

Lagian dari awal ini salah gue. Karena terlalu berharap ke lo yang nyatanya malah sama aja kayak yang lain.

Dari AN,

Yang udah nyerah.

Naufal mengerucutkan bibirnya sebal. Secarik kertas di tangannya ini membuat mood-nya turun. Lantas dia menyimpannya ke dalam saku celana. Naufal membanting pintu lokernya dengan keras sampai seseorang latah kaget dan itu membuatnya menoleh cepat.

Lucky melotot tajam. "Lo kenapa, sih? Dari kemarin-kemarin gue liat lo jadi gak jelas gini," keluhnya.

Naufal menghembuskan napasnya lelah. Dia kembali mengerucutkan bibirnya membuat Lucky kembali melotot dan dengan segera menabok kepalanya keras.

"Apa?" balas Lucky menantang ketika mendapat tatapan tajam dari cowok yang sedikit lebih pendek darinya itu.

"Luk," panggil Naufal pelan.
Lucky berdecak. "Udah gue bilang jangan panggil Luk, gue Lucky bukan buluk!" serunya tak terima. Enak saja nama bagus begini dipanggil buluk.

Naufal menyengir. Dia merangkul Lucky, membawanya keluar dari sana. Berjalan bersisian di sepanjang koridor menuju parkiran depan sambil berangkulan. Lebih tepatnya Naufal yang mengalungkan lengannya sementara Lucky pasrah saja karena kalah besar.

"Jangan bilang siapa-siapa, ya?"

"Hm." Lucky bergumam malas. Dia tidak akan terpengaruh pada perkataan cowok yang dijuluki wink boy itu. Dia sudah kebal karena ujung-ujungnya Naufal hanya akan mengatakan hal receh yang membuat Lucky langsung memasang muka datar.

"Gue ditolak cewek," bisik Naufal pelan.

"Ha?" Lucky mengerjapkan matanya. Refleks menghentikan langkah sambil menatap partner in crime-nya itu tak percaya.

"Woi! Lucky! Lo mau nebeng kagak?"

Sampai teriakan Naufal barusan membuat Lucky menyadari kebodohannya yang berhenti di tengah jalan. Menghalangi sebuah mobil silver yang akan lewat. Lucky tersenyum sopan sebelum menghampiri Naufal yang sekarang sudah terbahak-bahak.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang