8. Khawatir

131 22 2
                                    

Jam berapa kamu baca cerita ini?

.

.

.

Kriiiinggg!

Suara alarm yang memekakkan telinga terdengar keras di sebuah kamar bercat pink muda tersebut. Namun, sang empunya kamar masih setia bergelung dalam selimut tebalnya yang berwarna biru muda. Seakan tidak terganggu sama sekali dengan suara tersebut.

Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan pada pintu.

Tok! Tok!

Lagi-lagi suara ketukan itu terdengar. Namun, anak gadis yang masih terlelap itu tidak mendengarnya sama sekali. Justru semakin merapatkan selimutnya karena merasa kedinginan.

Ceklek.

Pintu dibuka. Sosok pria paruh baya yang mengenakan kaus polo berwarna hitam itu melangkah memasuki kamar yang remang-remang.

Ia melangkah semakin masuk ke dalam. Melihat sosok putrinya yang tertidur pulas dengan menggulung tubuhnya dalam selimut seperti kepompong, pria itu tertawa kecil. Kemudian ia membuka tirai merah yang menutupi sinar mentari untuk menyelinap masuk. Setelahnya ia mematikan alarm pada HP yang tergeletak di atas meja dekat kasur.

“Fia?” panggilnya sambil menyentuh bahu putri semata wayangnya itu pelan.

Fia menggeliat dalam tidurnya. Cewek berambut pendek itu mengeratkan pegangannya pada selimut ketika merasa bahwa seseorang menarik selimut hangatnya.

“Ayo bangun,” ujar Papa lembut. Melihat betapa keras usaha anaknya untuk bangun pagi dengan menyetel banyak alarm membuatnya terkesan. Pria itu tidak mungkin langsung pergi setelah mematikan alarmnya.

“Kamu gak sekolah?” tanyanya. Kali ini pria itu berhasil menarik lepas selimut biru muda yang membungkus tubuh putrinya.

“Hm?” Fia bergumam tidak jelas dalam tidurnya. Cewek berpiama cokelat muda itu kini tidur meringkuk sambil memeluk lututnya sendiri, mencari kehangatan yang lain.

Papa yang melihat hal itu geleng-geleng kepala. Kemudian bergerak untuk menarik putrinya agar duduk.

Baru setelah itu Fia terpaksa membuka matanya. Cewek itu mengerjapkan matanya berulang kali, masih belum sadar sepenuhnya. Lalu ia menguap lebar-lebar.

“Udah bangun?”

Mendengar suara barusan Fia baru menyadari kalau tidak hanya dia yang berada di kamarnya. Fia menoleh pada sumber suara, mendapati sosok Papanya dalam balutan kaus polo hitam dan celana kain tampak rapi meski berada di rumah. Matanya membulat kaget, tapi kemudian cewek itu menyengir sambil mengangguk.

“Cepet mandi, biar gak terlambat sekolahnya.” Begitu kata Papa sebelum pria beranak satu itu keluar. Meninggalkan Fia sendirian di kamar yang kini kembali menguap sambil beranjak dari kasur.

Dengan mata yang setengah tertutup cewek itu mengambil handuk lalu pergi menuju kamar mandi.

*

“Pagi, Miss Winda!” sapa Fia pada guru muda tersebut yang berdiri di lobi pagi ini. Tidak biasanya guru BK itu berdiri diam di sana dengan buku hitam yang diapit di tangannya.

Miss Winda tersenyum pada Fia. “Tumben sekali kamu datang jam segini,” katanya menyindir. Memang biasanya dia selalu mencatat nama Fia di buku yang dia pegang karena siswa itu sering kali terlambat.

Fia menyengir seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Saya udah dapat pencerahan, Miss.”

“Hm, bagus-bagus.” Miss Winda mengangguk-angguk. “Semoga ke depannya kamu tidak terlambat lagi, ya,” lanjutnya.

Fia mengangguk. Setelah menyalimi guru muda tersebut, ia segera berlalu menuju suatu tempat.

*

Lagi-lagi Fia berdiri sepagi ini di perpustakaan. Mencari-cari surat balasan yang tak kunjung dia temukan sejak kemarin. Bahunya melemas, bibirnya melengkung ke bawah.

Padahal ini masih pagi. Tidak mendapat surat balasan dari Naufal membuatnya merasa tidak semangat menjalani hari.

Apa Naufal udah gak mau ngeladenin dia lagi, ya?

Kemudian Fia menggeleng-geleng sambil menepuk pipi bulatnya beberapa kali. Dia tak boleh menyerah. Ini adalah saran dari Sellindra, yang sudah terpercaya menjadi mak comblang di kelasnya. Jadi, harusnya berhasil.

Setelah menarik napas dalam, Fia pergi keluar dengan berusaha berpikir positif. Mungkin saja, kan, kalau Naufal sedang sibuk dan tidak sempat membaca suratnya.

*

Buat Naufal,

Yang belum bales surat gue sampai saat ini.

Udah tiga hari lo belum bales surat gue. Apa lo udah gak mau balesin surat gue?

Udah tiga hari ini juga gue gak papasan sama lo waktu di kantin. Padahal gue bela-belain ke kantin, meski gue gak suka ke sana. Dan hal itu bikin gue mendapat perlakuan berbeda, tapi gue bisa tahan, kok.

Selama tiga hari ini gue gak ngeliat lo di mana pun. Lo biasanya bareng temen lo, tapi tiga hari ini gak ada sama sekali.

Lo menghilang.

Dari AN,

Yang khawatir.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang