Begitu bel istirahat pertama berbunyi, Fia segera keluar kelas menuju perpustakaan. Cewek itu mempercepat langkahnya ketika menuruni tangga sambil bernyanyi riang.
Suasana hatinya sangat bagus saat ini berkat Mr. Ardian yang mengumumkan nilai ulangannya sebagai nilai tertinggi ketiga di kelas. Sungguh suatu hal yang bagus hari ini.
Biasanya ia tidak pernah bisa masuk ke dalam tiga besar nilai tertinggi di kelas dalam ulangan. Namun, nilai ulangan matematika minggu lalu mematahkan stereotipnya. Dia langsung bergerak naik dari lima pemilik nilai terendah menuju tiga teratas.
Fia hanya bisa mengulum senyumnya agar tidak terlalu kentara bahwa ia bahagia karena hal itu. Sebab begitu melihat nilainya yang menurun tadi, Felix langsung berteriak sebal dan menendang meja begitu Mr. Ardian keluar. Fia tidak mau menjadi sasaran empuk cowok itu karena berhasil mengalahkannya di ulangan matematika bulan ini.
Ketika melewati koridor kelas 10, Fia ingin berbelok menuju kantin sebelum ke perpustakaan. Namun, hatinya mengatakan hal lain. Dia tidak mau menjadi bahan bully-an ketika memasuki kantin sendirian. Setidaknya cewek itu perlu seseorang yang bisa menjaganya. Seperti Dea misalnya, atau Yena. Atau bahkan Ruby yang kini berpapasan dengannya.
“Fia!” Ruby menyapa sambil memamerkan senyum manisnya. Cewek berambut pendek itu melambai pada Fia yang kini berhenti dan termenung dengan satu tangannya yang lain memegang lengan seorang cowok.
Setelah Ruby berlalu, barulah Fia bisa bernapas lega. Cewek berseragam putih abu-abu itu mengelus dadanya pelan. Merasa terkena heart attack mendadak ketika melihat Naufal berjalan di depannya bersama Ruby.
Fia mengulum bibirnya agar senyumnya tidak mengembang sempurna. Cewek itu menundukkan kepala kemudian membalikkan langkah. Kali ini tujuannya adalah koperasi siswa.
Tak beda jauh dengan kantin tadi. Koperasi siswa juga ramai meski tidak seramai kantin. Kebanyakan dari mereka membeli alat tulis dan makanan ringan.
Fia memundurkan tubuhnya ketika ada sosok cewek jangkung melewatinya. Kemudian ia maju selangkah sambil melihat-lihat isi etalase dari dekat.
Hari ini harus dirayakan, begitu pikirnya. Setelah mendapat nilai bagus dalam ulangan matematika, ia kemudian bertemu dengan Naufal dalam jarak yang sangat dekat. Tentu saja ini harus dirayakan.
“Mbak Sari! Aku mau beli permen milkita, dong!” serunya sambil menunjuk permen yang dimaksud yang jauh dari jangkauannya.
Mbak Sari si penjaga koperasi siswa mengangguk, mengambil stoples tersebut dan menyerahkannya pada Fia kemudian pergi melayani siswa lain.
Fia melebarkan senyumannya ketika melihat permen milkita di depannya. Matanya berbinar seakan menemukan sebongkah berlian. Padahal itu hanya permen susu.
Fia mengambil empat sekaligus kemudian memberikan uang pas pada Mbak Sari. Baru setelah itu cewek itu pergi dari sana setelah menyimpan permennya dengan aman di saku rok abu-abu selutut yang ia kenakan.
Tujuannya sekarang adalah perpustakaan. Ia tidak perlu pergi ke kantin karena sudah memiliki amunisi di sakunya. Karena katanya tiga permen milkita sama dengan segelas susu. Sementara dia membeli empat, harusnya itu bisa membuatnya kenyang. Jadi tidak perlu mampir ke tempat lain lagi karena tidak memiliki urusan lain.
Dengan melompat kecil Fia menyusuri koridor yang akan membawanya menuju perpustakaan. Rambut pendek sebahunya bergoyang seiring dengan ia melompat. Fia melompat sambil melihat ke bawah. Melompati satu keramik menuju keramik yang lain. Begitu seterusnya sampai ia sampai di depan tangga. Jalan terakhir sebelum tiba di perpustakaan.
Beberapa siswa yang kebetulan berada di koridor saat itu hanya bisa menggelengkan kepala mereka sambil menahan tawa saat melihat ada cewek aneh yang bertingkah seperti anak kecil. Namun, Fia tidak menghiraukannya. Lebih tepatnya dia tidak peduli selama mereka tidak menyakitinya.
“Siang, Mrs. Selvia,” sapa Fia pada guru yang berusia hampir setengah abad tersebut.
Mrs. Selvia yang disapa membetulkan letak kacamatanya, kemudian tersenyum begitu melihat siswi yang sering pergi ke perpustakaan. Setelah itu ia membalikkan halaman buku yang ia pegang, kembali melanjutkan kegiatan membacanya.
Seperti biasanya, perpustakaan memang tempat yang sepi. Hanya ada segelintir siswa yang kemari untuk membaca buku saat istirahat berlangsung. Fia, sih, tidak termasuk salah satunya. Karena sekarang cewek itu justru mengambil majalah Smarties dan membukanya mencari-cari sesuatu.
Semangat yang membara tadi kini lenyap tak bersisa. Seakan-akan Fia tidak pernah sesemangat itu. Sebab apa yang dia harapkan justru tidak ada. Orang itu tidak membalas surat yang ia kirim.
Dengan langkah gontai Fia berjalan keluar. Tak lupa ia menyapa Mrs. Selvia yang masih membaca buku dengan tidak ceria seperti ketika datang tadi.
*
Buat Naufal,
Yang belum bales surat gue.
Gue mau bilang, tadi kita papasan lagi. Lo lagi ketawa lepas bareng Ruby. Keliatan bahagia banget, gue jadi suka ngeliatnya. Gemes gitu jadi pengen nyubit pipi gembul lo. Tapi pasti gak bakal kesampean.
Andai gue bisa lebih berani buat nyapa lo duluan.
Dari AN,
Yang sedih karena suratnya gak dibalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...