11. Bukan Setan, kan?

115 19 3
                                    

Fia melangkah gontai menuju perpustakaan pagi itu. Sudah seminggu sejak Naufal tak membalas suratnya. Fia dilanda kegalauan luar biasa. Pengaruh Naufal ternyata sekuat itu.

Setelah mengambil napas dalam-dalam, Fia mengambil sebuah majalah yang akhir-akhir ini selalu dibukanya berulang.

Matanya melotot kaget melihat ada sebuah lipatan kertas putih di dalamnya. Fia memekik tertahan, matanya bergerak ke kanan ke kiri untuk memastikan keadaan perpustakaan yang sepi pagi itu. Hanya ada Mrs. Selvia dan juga dirinya.

Fia segera mengambil duduk di salah satu kursi krem di perpustakaan. Kali ini dia langsung membuka surat itu terang-terangan selagi perpustakaan masih kosong.

Buat AN,

Gue di skors seminggu. Jadi gue di rumah aja. Dan itu ngebuat gue bosen karena gak bisa baca surat dari lo. Tapi malemnya gue seneng karena tetap kumpul bareng temen.

Kalau gue nyuruh anak-anak ngambil surat di loker gue, itu gak mungkin karena mereka pasti bakalan heboh. Hebohnya mereka bisa ngalahin emak-emak yang kehilangan tupperware. Kadang gue heran sendiri, padahal temen gue, kan, cowok tapi kenapa bisa heboh sampe segitunya, ya?

Gue berharap, suatu saat nanti bakal ada cewek yang nyapa gue dan bilang kalau dia itu AN. Apa hal itu bisa terjadi?

Tapi, lo udah bilang di surat pertama. Kalau gue tahu siapa lo, gue bakalan berubah. Hm, tapi gue masih berharap bisa ketemu langsung.

Apa kita akan tetap kek gini?

Sampe kapan?

Dari Naufal.

*

Dibacanya surat tersebut berulang kali. Fia menepuk pipi bulatnya lalu mengaduh kesakitan. Pipinya memerah. Dan dia tersenyum lebar karena ternyata ini bukan mimpi.

Fia sudah merasa khawatir dirinya berhalusinasi mendapat balasan surat dari cowok itu. Tapi ternyata itu hanya pikiran buruknya saja.

Setelah menuliskan balasan, Fia turun ke bawah. Berjalan mengendap-endap menuju jejeran loker milik kelas 11 IPS 4. Meski masih terlihat sepi, Fia harus waspada. Bisa saja nanti ada yang memergokinya, kan?

“Huaah! Akhirnya!” Fia berseru senang sembari merenggangkan tangannya ke atas. Dia sedikit berjinjit di depan ruangan khusus loker tersebut. Dia memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum mulai melangkah. Sepatu karet hitamnya tak menimbulkan bunyi ketika melewati koridor berlantaikan keramik. Senyum lebar  tak hentinya terlukis di wajah bulatnya. Meski dalam hati juga khawatir. Akankah mereka terus seperti ini?

Fia menggeleng pelan. Dia membuang napasnya ketika sampai di depan tangga. Satu langkah lagi untuk sampai di kelas. Melewati tangga yang entah kenapa pagi ini terasa banyak sekali seperti tak ada habisnya. Tadi dia sudah berolahraga dengan naik turun tangga di perpustakaan, lalu sekarang menaiki tangga untuk sampai ke kelas membuatnya kelelahan.

Lantas Fia langsung merebahkan dirinya di lantai keramik bagian depan papan tulis. Merenggangkan tangan dan kakinya dengan mata terpejam. Merasakan dinginnya lantai keramik, membuatnya merasa segar setelah merasa gerah bergerak terlalu banyak.

Pintu kelas sudah dia tutup rapat, jadi Fia tak perlu khawatir ada yang melihatnya dalam kondisi seperti ini. Dia kembali memejamkan mata. Mumpung masih pagi, lebih baik dia tidur saja sebentar. Anak kelasnya pasti akan berbaik hati membangunkannya nanti sebelum bel masuk berbunyi.

Dalam diamnya Fia mulai membayangkan bagaimana ke depannya. Dia mulai berpikir tentang surat balasan tadi. Sampai kapan dia akan terus jadi pengecut seperti ini? Bersembunyi dibalik sebuah surat dan tak mau menunjukkan dirinya.

“Huah! Astaga!”

Fia membuka matanya kaget mendengar teriakan seseorang. Dia langsung bergerak duduk dengan cepat dan menatap orang itu tak kalah kaget.

“Lo beneran Fia? Bukan setan yang nyamar jadi dia, kan?”

Fia memutar bola matanya malas. Meski suka drama Korea, dia tidak suka drama dalam kehidupan. Jadi yang dilakukan Fia sekarang adalah menepis tangan Elina yang mau menyentuhnya.

“Gue Fia. Bangun kepagian makanya milih molor di sini,” katanya ketus. Fia langsung berdiri menuju kursinya di belakang. Elina masih terus mengekorinya, sepertinya belum percaya sepenuhnya.

“Beneran? Setahu gue Fia anaknya suka telat.” Elina menatap gadis yang lebih pendek darinya itu penuh selidik. Tangannya dia letakkan di dagu, mencoba berpikir keras dengan kening berkerut. Lalu Elina menatap Fia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terus berulang hingga beberapa kali dan hal tersebut mampu membuat cewek berambut pendek di depannya merasa risi.

Fia jadi berdecak. Mendorong Elina menjauh sampai cewek kurus itu terhuyung ke belakang.

“Pergi sana. Gue mau tidur,” usirnya. Elina segera pergi meski diiringi gerutuan pelan yang masih dapat Fia dengar. Fia tak peduli, dia langsung menempelkan pipi bulatnya ke atas meja. Menghadap jendela yang masih ditutupi tirai putih transparan yang akan menghalau sinar mentari pagi lalu memejamkan mata.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang