“Gu-gue nggak ada salah sama lo.” Fia mencicit pelan. Tubuhnya diikat di kursi yang ada di gudang. Tubuhnya bergetar takut. Keringat sebesar biji jagung mulai menghiasi keningnya.
“Hm, lo emang gak ada salah sama kita, tapi lo ada salah sama Yuan!” Kata seorang cewek dengan rambut ikalnya yang dikuncir kuda.
“Banyak banget kesalahan lo!” Kata cewek satunya lagi yang rambutnya lurus sebahu.
Fia risi diperlakukan seperti ini. Tapi ia bisa apa. Menjerit pun tak bisa, yang ada suaranya akan habis dan berakhir sia-sia karena gudang ini letaknya jauh di belakang.
Kenapa seorang pendiam selalu tertindas?
Pintu gudang terbuka. Seorang cewek masuk dan kembali menutup pintunya. Cewek itu berjalan mendekat.
Fia mendongak, menatap cewek yang kini di depannya. Ia agak terkejut melihat Yuan melipat tangannya di depan dada. Bukannya tadi Yuan pergi sama Naufal?
“Gue gak suka, ya, lo deketin Kak Naufal!”
“Kita cuma temen.” Fia menyanggah dengan cepat.
“Iya temen, lama-lama jadi demen,” kata cewek dengan rambut lurus sebahu itu pedas.
“Gara-gara lo, akhir-akhir ini kak Naufal gak pernah ngehubungin gue lagi!” Yuan menjerit histeris.
Yuan menunjuk Fia. “Apa bagusnya, sih, lo dari gue?!”
“Lo itu jelek, gendut, pendek, apanya yang dilihat Kak Naufal dari lo?” lanjutnya.
Cewek dengan rambut yang dikuncir itu ikut melipat tangannya di depan dada. “Dibanding Yuan, lo itu gak ada apa-apanya!”
“Seujung kukunya Yuan aja lo gak pantes!” sahut cewek dengan rambut lurus sebahunya.
Mata Fia berkaca-kaca. Ia tahu kalau dirinya tak pantas bersanding dengan Naufal. Tapi gak gini juga. Harusnya mereka bisa bicara baik-baik tanpa perlu merendahkannya.
“Denger, kan? Gue lebih pantas bersanding sama kak Naufal daripada lo!” seru Yuan pedas.
“Lo sama kak Naufal gak cocok. Kak Naufal tinggi banget sedangkan lo? Haha, lo lebih mirip jadi kurcaci daripada tuan puterinya!”
“Hm, dia jadi kurcaci sedangkan gue jadi tuan puteri, kita pasti bahagia.” Yuan tertawa keras dengan kedua temannya.
“Tapi kurcaci gak tinggal di istana. Karena istana cuma buat pangeran sama putri doang,” lanjut Yuan tersenyum miring.
Kali ini cewek dengan rambut dikuncir maju, menatap Fia dengan sinis. “Lo gak kasian apa sama kak Naufal? Kasian lehernya capek nunduk terus kalau mau ngajak lo ngomong.”
Cewek dengan rambut lurus sebahu ikut maju dan mendorong bahu Fia dengan jari telunjuknya, kukunya terlihat panjang dan terawat dengan warna merah menyala. “Selama ini kak Naufal, tuh, kasian sama lo! Karena lo pendek gendut begini mana ada cowok yang bakalan suka sama lo. Makanya Kak Naufal ngedeketin lo karena kasian!”
Yuan mendorong kedua temannya agar Fia menatapnya. “Kak Naufal, tuh, cuma manfaatin lo doang. Dia tadi ngejelasin ke gue kalau dia main ToD, dan dare-nya dia harus nembak lo.”
Kedua teman Yuan mengangguk-angguk membenarkan.
“Saatnya ke acara inti, guys.” Yuan mengangkat tangan kanannya memberi kode pada temannya. Temannya yang lain segera mengambil seember air dan memberikannya ke Yuan.
“Say hello to hell,” katanya tersenyum sinis dan mulai menyiramkan air kotor itu ke tubuh Fia yang terikat.
Fia menahan napasnya. Tapi tak bisa lama-lama akhirnya ia menghirup udara kuat-kuat. Baunya sangat menyengat.
Yuan kembali menyiramnya dengan air kotor. Fia sampai terbatuk-batuk karena airnya masuk ke hidung dan mulutnya.
“Kita cabut.” Yuan melangkah keluar diikuti kedua temannya. Pintu gudang pun tertutup.
Fia menangis. Bagaimana ia bisa keluar? Ia terus menangis sampai tak sadar seseorang masuk ke dalam gudang.
“Loh, he?”
Fia mendongak. Matanya berbinar saat melihat Lucky ada di sana menaruh sesuatu di pojokan.
“Lucky, please, tolongin gue,” kata Fia parau. Entah apa yang ada di pikiran Lucky tentangnya yang terpenting sekarang ia harus pulang. Fia menatap Lucky lekat-lekat dengan matanya yang memerah karena kemasukan air dan terus menangis.
Lucky mendekat, ia berdecak kesal. “Kalau gak gue tolongin bisa kena amuk Naufal gue. Lo nyusahin banget, sih.” Lucky terus mengomel sambil membuka ikatan tali yang mengikat Fia di kursi. Cowok kurus itu melakukannya dengan cepat.
Tak butuh waktu lama, Fia sudah terbebas dari tapi yang mengikatnya erat tadi. Fia bernapas lega. Sisa-sisa air masih menetes dari rambutnya. Bajunya juga sangat basah. Fia harus bergegas pulang sebelum Papa kembali ke rumah.
“Perlu gue anter balik, gak?” tawarnya.
Fia menggeleng. “Enggak perlu, gue bisa naik bus, kok. Makasih, ya, udah nolongin gue,” katanya pelan kemudian melangkah keluar. Saat sampai di pintu Fia menghentikan langkahnya. “Jangan bilang ke Naufal, ya.” Kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya keluar.
Meninggalkan Lucky yang kembali memasukkan HP-nya ke dalam saku celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...