Lagi-lagi Fia berdiri di sini. Membuang napas kasar setelah tahu kalau majalah itu kosong tak ada apa pun. Tak ada lagi surat yang selalu membuatnya tersenyum ketika membacanya. Tak ada lagi surat yang membuatnya semangat.
Dengan langkah gontai Fia berjalan keluar.
*
Buat Naufal,
Yang menghilang.
Udah empat hari lo gak bales surat gue. Apa lo udah bosen jawab surat-surat gue?
Kelas lo tadi ada pelajaran olahraga. Dan gue gak ngeliat lo ikutan main futsal. Biasanya lo sering jadi kiper di sana, tapi tadi gak keliatan sama sekali. Malah digantiin sama Yohan yang terkenal karena pernah bawa pulang medali emas taekwondo.
Gue mau tanya ke teman lo, tapi gue takut. Gue gak punya keberanian sebesar itu buat nyamperin kandang macan yang isinya buaya.
Lo di mana?
Dari AN,
Yang masih khawatir.
*
“Huah!” Chantika yang duduk di depan Fia berseru keras sambil merenggangkan kedua tangannya ke atas begitu Miss Sania keluar.
Pelajaran kimia hari ini sangat menguras tenaga dan pikiran. Guru killer tersebut suka sekali mengadakan ulangan dadakan. Tentu saja semua siswa langsung dibuat panik seketika.
Namun, begitu kelas kimia berakhir, semuanya menghela napas lega seolah-olah mereka baru saja keluar dari bahaya. Tidak ada yang terlalu peduli pada hasil ulangan nanti kecuali peringkat tiga teratas, Alfa, Lia dan Felix.
Sembari menunggu guru selanjutnya datang, siswa kelas 11 MIPA 4 itu berhamburan kembali ke tempat duduk mereka setelah sebelumnya mereka harus duduk sesuai presensi ketika hendak ulangan.
Di pojok depan dekat pintu sudah ada Alfa dengan buku paket di tangannya. Pemuda jangkung yang tingginya disamakan dengan tiang itu seperti tidak bisa jauh-jauh dari buku.
Kursi selanjutnya ada Lia yang mengutak-atik laptop putihnya. Sebentar lagi kelas mereka akan melakukan presentasi di pelajaran sejarah. Perempuan berwajah jutek itu pasti tengah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin sekarang.
Lalu di meja guru bagian depan sudah ada Felix, Jeno dan juga Mark. Komplotan HP miring, begitu anak-anak menyebutnya. Sebab ketiga orang itu tidak bisa jauh-jauh dari permainan mobile legends.
Di bangku yang lain, beberapa siswi tengah bergerombol. Sepertinya sedang membicarakan gosip yang hangat. Fia tidak terlalu peduli, sih.
Sementara itu di deretan paling belakang, lebih tepatnya di belakang punggungnya, Fia hanya melihat sekilas. Deretan siswi yang mengikuti ekstrakurikuler modeling atau yang merasa dirinya paling cantik sedang sibuk dengan beberapa alat make up yang tidak ia ketahui namanya.
Fia menghela napasnya dengan berat. Ia menaikkan bibirnya dengan bahu yang juga dinaikkan. Kemudian ia memilih untuk menatap jendela karena tidak ada kegiatan lain yang bisa dia lakukan.
Dari sini Fia bisa melihat lapangan rumput yang letaknya tepat berada di belakang gedung utama. Siswa kelas lain berlari kecil ke arah sana, kemudian saling bersenda gurau sebelum kedatangan guru berbadan besar menghentikan aktivitas mereka dengan satu tiupan peluit panjang.
Fia mengerutkan bibir penuhnya. Cewek dengan balutan seragam krem itu meletakkan kepalanya ke atas meja menghadap ke kanan, sembari melihat kegiatan anak kelasnya. Kedua tangannya saling bertaut di atas rok kotak-kotak berwarna merah. Sesekali cewek gendut itu mengerutkan alisnya seperti tengah berpikir keras.
“Selamat pagi!” Miss Jessica datang membawa buku paket di tangannya. Guru muda yang menjadi wali kelas mereka itu kemudian menutup pintu kelas dan menginstruksikan pada anak didiknya untuk menarik tirai guna menutup celah sinar mentari mengintip masuk.
Fia menegakkan tubuhnya. Bibirnya mengerucut sementara hatinya tidak ingin mengikuti pelajaran karena merasa tidak bersemangat setelah tahu kalau seseorang yang dia nantikan tidak membalas suratnya.
“Baik, saya pilih acak saja, ya?”
Begitu suara Miss Jessica jatuh, seisi kelas yang semula berisik menjadi hening. Meski kini tidak semua siswa duduk di kursinya sendiri, mereka tidak mengeluarkan suara satu pun.
Fia yakin, tidak ada siswa yang suka ketika nama kelompoknya dipanggil secara acak.“Oke, mulai dari Markus.”
Sial! Fia mengumpat dalam hati menangisi ketidakberuntungannya. Ia masuk ke dalam kelompok Mark dan sialnya mereka harus maju yang pertama. Fia merasa semakin tidak bersemangat sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...