“Kiw, cantik.” Salah satu cowok spesies buaya tengah melontarkan godaannya pada salah satu adik kelas manis yang lewat. Membuat adik kelas perempuan tersebut tersipu sambil menunduk malu-malu ketika berjalan melewati kumpulan buaya dari kelas 11 IPS 4 tersebut.
Fia yang semula hendak kembali ke kelasnya setelah dari toilet jadi berhenti. Memandangi gerombolan pemuda dari IPS itu takut-takut. Tidak ada jalan lain menuju lantai dua selain memakai tangga yang berarti harus melewati mereka. Sekalipun ingin menaiki lift juga dia harus melewati pemuda-pemuda urakan itu.
Sayang sekali tadi dirinya pergi sendirian padahal Yena sudah menawarkan untuk menemani. Bodohnya Fia malah menolak merasa tidak takut sebab tujuannya bukanlah kantin. Kali ini Fia merutuki dirinya sendiri.
Cewek itu ingin melangkah maju, tapi juga takut. Tidak ingin kembali, tapi Miss Sania menanti. Bagai makan buah simalakama, maju nanti dia akan diejek habis-habisan, sementara tetap berdiam diri di sini dia akan dicecar habis-habisan oleh guru kimia muda tersebut.
Oke, Fia, tenang. Tarik napas, hembuskan. Hal itu Fia lakukan berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia mendoktrin pada otaknya bahwa dia hanya lewat, tidak untuk berhenti. Ketika mereka macam-macam nanti, dirinya hanya perlu langsung berlari menuju tangga yang tak jauh dari sana.
Setelah menarik napas panjang, Fia mengambil langkah pelan melewati koridor dengan kepala menunduk tak berani melihat sekitarnya. Kedua tangannya saling bertautan di depan. Sesekali cewek berambut sebahu itu menggigit bibirnya merasa gugup.
Detak jantungnya semakin menggila ketika ia dapat melihat beberapa sepatu hitam dan putih ketika lewat. Fia semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Kiw, berani banget lo lewat.” Kevin bersuara.
Entah bagaimana Fia kini menghentikan langkahnya. Detak jantungnya seakan berhenti begitu saja ketika mendengar salah satu dari mereka bersuara. Cewek itu meremas kedua tangannya untuk menyembunyikan rasa takut yang tiba-tiba melanda.
“Ckckck, di saat anak lain masih ada kelas, lo bahkan berkeliaran di sini. Hm, kayaknya udah mau jadi anak nakal, ya?” Oky yang julidnya mengalahkan tetangga ketika bergosip kini mendekat sambil menyilangkan kedua tangan. Cowok itu sedikit membungkukkan badannya untuk menatap Fia yang masih menunduk.
Mendapati sepatu kets hitam berhenti di depannya, Fia refleks mengambil langkah mundur. Alarm bahaya segera berbunyi di kepalanya. Namun, Fia tidak bisa langsung berlari seperti yang dia rencanakan sebelumnya. Seolah ada paku yang menancap di kakinya hingga ia tidak bisa bergerak meninggalkan koridor kelas 10 tersebut.
“Udah, guys, udah. Ntar nangis anaknya.” Niken yang biasanya paling semangat dalam hal ini tiba-tiba saja melerai temannya. Menarik bahu Oky untuk menjauh.
“Udahan aja, lo gak liat anaknya udah mau pingsan gitu?” Naufal yang sejak tadi diam saja jadi ikut menambahi.
“Lo apaan, sih? Gak seru, lah, kalo kayak gini.” Fardhan berseru kesal sambil melempar kulit jeruknya pada Fia. Untung saja kulit jeruk tersebut kering, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada seragam putih abu-abu yang dikenakan Fia sekarang.
Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Fia mengangkat kepalanya pelan. Cewek itu terkesiap ketika mendapati hampir separuh dari siswa laki-laki di kelas 11 IPS 4 berdiri di koridor. Melihat hal itu keberanian yang ia punya jadi meluap tanpa bersisa.
“Kenapa?” tanya Kenzie.
“Oh. Lo mau pergi? Balik ke kelas?” Lucky bertanya mengejek. Memandang cewek yang tingginya lebih pendek darinya itu dengan sinis. Kemudian mendorongnya menggunakan jari telunjuk sampai Fia termundur beberapa langkah.
“Duh, lemah banget, sih,” cibirnya.
Fia kini terdiam. Kepalanya kembali menunduk. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya hingga matanya yang berkaca-kaca tidak terlihat. Rasanya Fia ingin menangis sekarang juga, tapi ia tidak bisa melakukan hal itu karena masih di sekolah. Mereka akan semakin melakukan hal-hal buruk padanya dan mengejeknya sebagai perempuan cengeng.
“Makanya lo kalo jadi cewek jelek itu harus kuat mental ngadepin kita-kita.” Kevin berseru pedas. “Baru aja diginiin udah mau nangis. Dasar cengeng.”
Naufal di sebelahnya mengangguk. Tapi kemudian cowok itu menepuk bahu temannya satu persatu. “Udah, lah, gak seru. Kita cabut aja.”
*
Buat AN,
Gue gak pernah ngebayangin lo, tuh, gimana. Wajah lo kayak gimana. Cantik atau kagak.
Gue gak bakal menilai lo dari penampilan. Terus, kenapa lo selalu ngebandingin diri lo sama orang lain, sih? Gue kesel sendiri jadinya.
Gue rasa gue udah mulai suka sama lo karena lo berhasil bikin gue penasaran banget.
Btw, thx buat semangatnya. Gue pasti menang ntar dan pasti bakal jagain gawang gue biar dia tetep perawan gak ada yang bisa bobol.
Jangan lupa tunjukin diri lo nanti.
Dari Naufal.
*
Fia meremas kertas di tangannya. Dia tertawa keras yang terdengar memaksakan diri. Saat ini dia berada di toilet perempuan dekat perpustakaan. Jadi Fia tak perlu khawatir seseorang mendengar tawanya yang keras itu.
“Bullshit!” desisnya. Apa yang dikatakan Naufal adalah kebalikannya. Buktinya cowok itu tadi tidak membantunya.
Zaman sekarang, mana ada cowok yang gak mandang fisik seseorang? Karena fisik adalah hal yang pertama kali dilihat. Seakan-akan fisik menjadi penentu utama sebuah hubungan.
Fia merasa takut. Takut karena hal itu.Air matanya perlahan mulai jatuh melewati pipi. Fia berjongkok dengan tangan yang menutupi wajah bulatnya.
Siang itu, ketika jam istirahat, Fia menghabiskan waktunya di toilet untuk menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...