10. Berharap Dibalas

116 17 0
                                    

Fia khawatir. Tentu saja. Otaknya sudah mulai berpikiran negatif. Bagaimana jika memang Naufal tak lagi membalas suratnya? Bisa-bisa dia akan kehilangan seluruh hidupnya. Oke, itu lebay. Tapi memang, Naufal membawa banyak pengaruh di kesehariannya.

Seperti sekarang. Fia sudah jarang terlambat agar bisa mengambil surat balasan itu pagi-pagi sekali di perpustakaan. Tapi, kosong. Surat yang dinantikannya itu tak ada.

Lalu, bolehkah Fia kembali pada kegiatan lamanya? Kembali datang terlambat dan dihukum oleh anak OSIS karena kini tak ada lagi sesuatu yang membuatnya bersemangat.

Fia seakan tengah menjilat ludahnya sendiri. Dari awal ia menulis surat, ia hanya berharap Naufal membalas suratnya saja dan berharap mereka bisa menjadi teman meski ia harus merelakan perasaannya. Tapi begitu melihat respons positif dari Naufal, Fia jadi berharap lebih.

*

Buat Naufal,

Yang menghilang selama seminggu.

Udah seminggu lo belum bales surat gue.

Gue gak bisa ngasih surat di loker lo hari Sabtu dan Minggu karena sekolah kita menganut sistem fullday. Jadi gue baru bisa ngasih surat waktu hari Senin sebelum upacara. Demi surat ini gue harus lari-larian ngejar waktu yang terasa mepet karena Miss Sania udah teriak-teriak di lapangan.

Rasanya hari-hari gue aneh banget karena gak bisa baca balasan surat dari lo.

Boleh gak, sih, kalau gue berharap lo balesin surat gue lagi?

Dari AN,

Yang berharap suratnya dibalas.

*

“Fi! Kantin, yuk?”

Mendengar ajakan Dea, Fia cepat-cepat menggelengkan kepala. Kantin adalah salah satu tempat yang wajib ia hindari agar merasa tenang di akhir masa sekolahnya.

Dea mengerucutkan bibirnya. Cewek berponi itu lantas merengek tidak jelas sambil mengentakkan kaki jenjangnya.

“Ayo, dong, Fi,” rengeknya.

“Gak! Lo tahu, kan, kalau gue paling anti sama yang namanya kantin.”

Dea mengangguk. “Iya, tapi, kan, ada gue,” katanya percaya diri dengan jempol yang menunjuk dirinya sendiri. Cewek itu membusungkan dadanya sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Fia jadi mencibir kecil tapi tak urung dia membereskan alat tulisnya kemudian berdiri. Meletakkan kedua tangannya pada bahu Dea yang setara dengan tinggi badannya lalu mendorong cewek itu keluar.

Dea tertawa kecil merasa berhasil meluluhkan Fia yang keras kepala itu. Lagi pula selama ada dia di dekatnya, Dea akan menjamin keamanan cewek mungil yang sudah jadi temannya selama satu semester lebih itu. Sudah ia pastikan tidak boleh seorang pun mendekati Fia selain teman sekelasnya ketika di kantin nanti.

Keramaian di kantin adalah hal pertama yang mereka lihat begitu sampai. Hm, kantin memang tak pernah sepi apalagi di jam istirahat seperti sekarang. Beberapa siswa sudah mengambil antrean untuk membeli makanan yang mereka suka. Sisanya sudah duduk-duduk sambil mengobrol bersama teman.

Dea berhenti sejenak. Cewek itu menoleh pada Fia yang bersembunyi di balik punggungnya. Setelah mengambil napas panjang, Dea menarik pergelangan tangan Fia, membawanya agar berdiri di sampingnya. Kini perbedaan tinggi keduanya terlihat sangat jelas. Kemudian Dea menarik Fia menuju salah satu antrean yang menjual berbagai macam mi. Jelas tujuan Dea adalah untuk membeli spageti kesukaannya, kalau Fia pasti akan selalu mengiyakan saja tanpa banyak protes.

S

etelah antrean yang panjang akhirnya keduanya berhasil duduk di salah satu meja kosong dekat pintu masuk kantin dengan membawa pesanan masing-masing. Dea dengan carbonara sementara Fia dengan spageti bolognese-nya.

Dea kemudian duduk di kursi yang menghadap jalanan kecil untuk memasuki kantin lebih dalam. Mau tak mau Fia duduk di seberangnya, membelakangi jalan tersebut. Hal itu Dea lakukan agar Fia tersembunyi dengan baik karena siswa lain hanya mampu melihat punggungnya saja ketika memasuki kantin. Sungguh pemikiran yang bagus, Dea tersenyum sebelum mulai menyantap carbonara miliknya.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang