Naufal tersenyum puas setelah peluit panjang berbunyi yang menandakan permainan telah berakhir. Dia melihat papan skor besar di salah satu sisi lapangan.
0-8 untuk Smart High School.
Timnya menghampiri Naufal. Melakukan tos dan saling berpelukan.
Mark yang duduk di salah satu tenda dengan kakinya yang terbalut perban tersenyum melihat kemenangan yang diraih timnya.
Berkat Yohan, gawang mereka masih tetap perawan. Cowok jangkung itu memang kiper yang andal. Kekuatan fisiknya sangat kuat karena berlatih taekwondo.
Lalu Nathan yang menggantikan Mark berhasil membuat strateginya berjalan lancar. Dialah otak di setiap perlombaan futsal Smart High.
Galang merupakan kapten yang baik. Cowok itu tak hentinya tersenyum sambil memberikan botol air mineral kepada temannya.
Cakra dengan kurang ajarnya langsung melompat ke punggung Naufal dan bergerak-gerak heboh. Membuat Naufal mendesis kesal sambil memeganginya.
“Cak, lo makan apa aja, sih? Badan lo berat banget.” Naufal mengeluh. Dia seperti mengangkat gajah saja di punggungnya.
“Gue rajin olahraga begini dibilang berat. Kalau gue berat lo apa?” balas Cakra sewot sambil turun dari punggung Naufal. Dia masih sempat-sempatnya memukul punggung bernomor 71 dengan keras, membuat empunya terhuyung ke depan dan mengaduh.
“Sialan lo Cakra! Kalau mau baku hantam ayo sini gue ladenin!” teriak Naufal kesal.
*
“Bang, gue beli ini totalnya berapa?” tanya Naufal menunjuk banyak balon berwarna-warni yang terikat.
“Tiga puluh lima ribu,” jawab penjual balon itu.
Naufal memberikan uangnya ke penjual balon itu dan menerima ikatan balon warna-warni yang ditunjuknya tadi. Ia tersenyum memikirkan reaksi Fia nanti saat ia menembaknya di lapangan.
Naufal sudah mempersiapkan hal ini dengan sangat baik. Dia sudah berencana akan menyatakan perasaannya pada Fia ketika menang dalam lomba futsal di SMA Aksara.
Ia berlari dengan semangat kembali memasuki lapangan. Berjalan dengan cepat ke tribune penonton tempat Ruby dan teman-temannya berkumpul di barisan keempat.
“Fia mana?” tanyanya begitu sampai tapi tak melihat ada Fia di sana. Naufal celingukan melihat ke sana kemari, siapa tahu saja Fia sedang bersandar pada temannya sehingga tidak kelihatan.
Elina yang duduk tak jauh dari Naufal langsung maju. “Fia tadi ke toilet, tapi sendirian gak mau dianter, udah agak lama juga,” katanya menjelaskan.
Naufal berdecak, dia menyisir rambutnya yang agak panjang dengan satu tangannya yang bebas. Kenapa cewek itu belum kembali juga? Padahal harusnya dia menembaknya di lapangan tadi.
Lalu Naufal bergegas menuju toilet. Melewati banyak koridor yang tak terlalu ramai dan jalan setapak yang dikelilingi taman bunga di sisi kanan kirinya menuju toilet. Toiletnya cukup jauh karena berada di belakang, sedangkan lapangan rumput ada di kanan depan.
Naufal bahkan tak peduli ketika dirinya menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang di sana. Dengan dirinya yang membawa balon warna-warni di tangan, hal itu mampu membuat orang lain menolehkan kepala ingin tahu ke arahnya. Bahkan tak sedikit Naufal mampu mendengar bisik-bisik yang cukup keras untuknya.
“Ini toiletnya mana, sih? Masih jauh apa?” gerutu Naufal ketika dia kembali melangkah di jalan setapak yang kini dikelilingi dengan rumput terawat yang tinggi.
Untung saja dia termasuk dalam kategori cowok dengan tinggi rata-rata. Hal itu mampu membuatnya keluar dengan cepat dalam labirin yang mampu membuatnya pusing sesaat. Dia bisa melihat jauh ke depan karena rumput itu hanya setinggi dadanya saja.
Naufal berbelok ke kiri dan terkejut saat melihat seorang cewek dengan baju ungu muda dan rok biru tua terduduk lemas di jalan setapak. Ia segera menghampirinya, bisa saja dia merupakan suporter dari Smart High School karena mengenakan warna kebanggaan tim futsal.
Naufal terkejut saat mengetahui cewek itu ternyata Fia. Terduduk sendirian di tengah-tengah jalan setapak dengan baju yang basah dan rambutnya yang belum juga mengering. Naufal sangat terkejut melihat kondisi cewek itu yang sangat berantakan.
Fia hanya diam saat melihat sepasang sepatu futsal berwarna hijau stabilo berhenti di depannya. Fia tak mau mendongak untuk melihat sosok yang berdiri di depannya, dia hanya menatap sepatu itu dengan tatapan kosong tak bersemangat.
Naufal berjongkok, cowok itu meraih satu tangan Fia dan memberikan balon yang dia bawa pada cewek yang masih terduduk lemas itu. Lalu dengan tangannya yang lain, Naufal menggenggam jemari dingin milik Fia. Menggenggamnya erat mencoba menyalurkan kehangatan yang dia miliki.
“Harusnya gue ngungkapin perasaan di lapangan pas gue menang tadi, tapi ternyata lo gak ada bikin gue panik banget. Waktunya emang gak tepat, tapi ….” Naufal mengusap pelan air mata Fia menggunakan ibu jarinya.
“Gue sayang lo. Mulai saat ini biarin gue ngelindungin lo.”
“Pergi, Fal. Kita gak cocok,” lirih Fia.
Naufal semakin mengeratkan pelukannya ketika mendengar isakan Fia.“Lo terlalu sempurna buat gue.” Kini, Fia tak mampu menahan tangisannya. Ia menangis kencang dalam pelukan Naufal. Menangisi kehidupannya yang tidak sempurna seperti apa yang ia bayangkan.
“Sialan! Gue gak butuh yang sempurna. Gue cuma butuh lo. Gue nerima segala kekurangan lo. Gue menerima lo apa adanya, jadi berhenti nangis.” Naufal melepaskan pelukannya. Cowok yang mengenakan jersei biru tua itu mengusap air mata di wajah Fia pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, berharap dengan itu sosok cantik di depannya juga ikut tersenyum.
“Jangan nangis, ya? Gue udah beliin balon, nih,” ucap Naufal sambil mengangkat balon di genggaman Fia.
Fia tertawa kecil. “Fal, gue bukan anak kecil,” serunya tak terima. Lantas melihat balon di tangannya itu.
“Loh. Ini apa?” tanya Fia ketika mendapati sepucuk surat terikat di bagian bawah tali.
“Buka aja,” balas Naufal enteng.
Fia menurut. Membuka amplop merah jambu tersebut dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Kemudian membacanya.“Puitis banget, sih, pacar baru aku,” ucap Fia gemas. Menguyel pelan pipi pemuda di depannya setelah membaca isi surat tersebut.
“Kan, kamu yang ngajarin.”
*
Mereka berdua tertawa. Masih dalam posisi duduk di tanah.
“Hei, jangan dorong gue!” Elina berdesis kesal karena Jihan mendorongnya.
“Woi, gue juga mau liat.” Juwi merengek karena ketutupan oleh temannya yang lain.
“Gak baik tahu ngintip kayak gini,” celetuk Mark di barisan paling depan.
“Iya, katanya nanti jadi bintitan,” sahut Yena di sebelahnya.
“Lah, terus kalau gak ngintip, sekarang lo lagi ngapain anjir?” Itu Felix yang berbicara. Cowok satu itu memang memiliki temperamen yang buruk.
“Santai aja kali. Lo juga ngintip, tuh!” balas Meisie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...