17. Jangan Lompat!

126 9 6
                                    

Buat AN,

Udah tiga hari lo gak bales surat gue. Kayaknya sekarang kita kebalik, deh.

Gue jadi ngerasain gimana rasanya ngirim surat tapi gak ada yang bales.

Lo mau gue ngerasain yang lo rasain juga?

Kalo gak mau, gue harap lo bales surat ini.

Dari Naufal.

*

Naufal mengacak rambutnya frustrasi. Dia menendang meja dengan kasar. Lalu mengaduh kesakitan setelahnya. Naufal jadi mengumpati meja tak bersalah tersebut.

"Fal, itu meja gak punya salah sama lo," celetuk Nata. Cewek yang paling cantik di kelas itu mendengkus kesal karena tingkah Naufal. Dia sedang fokus membaca buku tapi cowok itu malah ribut dengan sendirinya.

"Dia salah, Nat. Ngapain juga meja ini tiba-tiba jadi keras, ha?" Naufal menunjuk meja di depannya itu dengan tatapan kesal yang tidak bisa disembunyikan.

Nata melotot. "Dari dulu meja emang keras kali! Lo hidup di zaman apa, sih? Gitu aja gak tahu," kata Nata jadi mencibir kecil. Membalikkan halaman buku yang dia baca kemudian tak lagi memperhatikan temannya.

Naufal tak menjawab. Cowok itu membuang muka. Ganti mendekat pada Nathan yang tidur di atas meja dengan jaket menutupi kepalanya. Beberapa meja dia gabungkan hingga mampu menjadi tempat tidur untuknya.

Naufal langsung menendang kaki meja dengan keras. Nathan yang masih tidur jadi kaget. Langsung duduk tegak dengan muka bantalnya. Sebelah matanya bahkan masih terpejam. Begitu melihat Naufal yang menatapnya ganas, Nathan berdecak.

"Gue kira ada guru," sahutnya malas kembali berbaring. Meletakkan jaketnya di atas muka lalu kembali memejamkan mata.

"Bangun bentar, elah." Naufal kembali menendang kaki meja. Tak memedulikan rasa berdenyut di kakinya.

"Apaan, sih? Gue masih mau tidur," tolak Nathan dengan suara seraknya khas bangun tidur.

"Masalah cewek, kan?" tanya Nathan tepat masih dengan mata yang terpejam. Naufal refleks mengangguk.

"Minta ajarin Ojan sana, dia udah pro," lanjut Nathan lagi. Cowok itu mengibaskan satu tangannya menyuruh Naufal pergi. Kemudian berganti memiringkan badannya menghadap tembok hijau muda seolah tidak ingin diganggu.

Setelahnya yang didengar Naufal hanyalah suara deru napas Nathan yang teratur. Dalam hati sudah mencibir, cepat sekali cowok itu kalau tidur. Dan lagi, dia tadi tahu masalah Naufal tanpa menatapnya. Nathan memang seajaib itu.

Seperti yang dikatakan Nathan, tujuannya sekarang adalah menemukan Fauzan. Entah di mana temannya yang satu itu. Biasanya, sih, mereka akan pergi ke rooftop untuk merokok secara sembunyi-sembunyi. Terkadang pergi ke UKS untuk modus pada Mbak Mitha. Atau justru pergi ke warung Bu Pita di belakang untuk membolos.

Karena kelasnya berada di lantai dua, Naufal memutuskan untuk pergi ke rooftop lebih dulu. Siapa tahu saja Fauzan sedang berada di sana.

Begitu sampai dia menemukan sosok jangkung Fauzan tengah berdiri sambil memegangi pagar pembatas. Rambutnya yang agak panjang berkibar ketika terkena angin. Kemeja kremnya yang dikeluarkan juga ikut melambai-lambai.

Naufal yang masih berdiri sambil memegangi pintu kayu itu berseru dengan heboh, "Astaga, Ojan! Lo kalau udah capek mending nyebat aja. Jangan langsung mau lompat!"

Mendengar suara keras itu, Fauzan yang semula melihat-lihat pemandangan di bawah itu jadi membalikkan badan dengan cepat. Matanya melotot pada Naufal yang kini memasang ekspresi yang dilebih-lebihkan di wajahnya. Bibirnya terbuka lebar, kedua tangannya memegang pipi. Matanya melotot dan kakinya dirapatkan. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.

"Siapa yang mau loncat, anjir?!" balas Fauzan jadi ngegas. Kini dia berjalan pelan menuju kursi kayu tua yang ada di sana. Setelah duduk, dia menepuk sebelahnya beberapa kali, mengisyaratkan pada Naufal untuk duduk di sana.

"Kenapa?" Begitu Naufal sudah mendaratkan bokongnya pada kursi keras itu, Fauzan melontarkan pertanyaan. Pasti ada alasan mengapa Naufal mendatanginya.

Naufal menyengir, matanya bahkan sampai menyipit layaknya bulan sabit. "Sama Nathan disuruh ke sini."

Fauzan mengangkat satu alisnya. Kemudian dia memusatkan pandangan ke depan. Melihat-lihat dedaunan di pohon yang bergoyang tertiup angin.

"Masalah cewek, ya?"

Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Fauzan memejamkan matanya perlahan. Dia mendongak, kedua tangannya menopang tubuh di belakang. Menikmati semilir angin sejuk yang menampar wajahnya. Sementara Naufal menunduk dan memainkan jemarinya dengan gelisah.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang