34. Dating?

89 6 0
                                    

Seorang pemuda jangkung bersandar pada pilar dengan satu tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana. Pemuda itu terlihat keren. Banyak yang menyapanya yang hanya dibalas senyuman kecil oleh pemuda itu, sesekali dia mengedipkan sebelah matanya. Membuat para cewek yang lewat jadi berteriak histeris.

Seorang cewek gendut datang menghampirinya. “Udah lama nunggu, ya?”

Naufal menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan, lalu dia hanya bergumam untuk menjawab.

“Wah, anak mamah udah ada kemajuan!” Elina berteriak heboh dan menghentikan langkahnya di depan pintu. Membuat yang lain jadi berdesakan ingin melihat.

“Uhuy, bakalan makan besar kita ntar.” Jeno bersiul menggoda.

“Geprek, ya, Fi, jangan lupa.” Dea mengedipkan sebelah matanya kemudian menggandeng tangan seorang pemuda yang menunggunya. Dia tak mengungkit kejadian tadi siang dan bersikap biasa saja, membuat Fia tersenyum merasa lega.

“Mantap! Gas terus, Fi!” Joe ikut mengompori.

“Jangan kasih kendor, Fi!” Sellindra ikutan.

Fia membalikkan badannya, pipi bulatnya bersemu merah. “Apaan, sih, kalian.”

“Udah jangan digodain mulu, bisa gagal dating ntar.” Mark melerai, cowok itu menghampiri Naufal dan menepuk pundaknya menyemangati.

Naufal meraih tangan Fia, menggenggamnya kemudian tersenyum menatap anak-anak Mipa 4. “Doain aja, ya,” katanya yang makin membuat anak-anak Azerus heboh. Kemudian menarik Fia menuju parkiran.

Sepanjang koridor Fia terus menunduk, semakin menunduk kala mendengar suara para cewek yang mulai membicarakan hal buruk tentangnya.

“Sans aja, jangan dipeduliin.” Ucapan Naufal membuatnya mengangkat kepala. Cewek itu mencoba berjalan tenang tanpa memedulikan ucapan orang lain.

“Kak Naufal kita ke mall dulu, ya.” Seorang cewek imut datang tiba-tiba merangkul lengan Naufal. Postur tubuhnya tinggi, ditambah dengan rambutnya yang panjang dan senyuman manis itu mampu membuat Fia merasa minder bahkan meski dirinya berdiri di depan cewek itu.

Naufal tersentak kaget dan refleks melepaskan genggaman tangannya pada Fia. Fia menatap keduanya bingung.

“Kak Naufal ayo ke mall.” Cewek itu merengek manja dan semakin mengeratkan pelukannya pada lengan kiri Naufal dan menyenderkan kepalanya.

“Fal?” Fia bertanya bingung.

Siapa, sih, cewek ini? Kenapa dekat banget sama Naufal? Hati Fia mencelus saat Naufal melepaskan tautan tangan mereka tadi, tapi cowok itu tak melepaskan pelukan cewek gak jelas di lengannya. Fia merasa terbakar.

Cewek itu menegak, tetap memeluk erat lengan Naufal. “Kakak siapa, ya?”

“Eh? Gu-gue Fia.”

“Temennya Kak Naufal, ya?”

Fia mengangguk. Benar, kan. Selama ini dia dan Naufal hanya teman. Tidak lebih. Fia menggigit bibir bawahnya.

“Oh, syukur, deh.” Cewek itu tersenyum senang dan kembali menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Naufal karena tinggi mereka yang hanya berjarak beberapa senti saja.

Kalau dilihat lagi, cewek itu ternyata adik kelas. Dia cantik, manis, imut, tipikal dedek gemes yang disukai banyak cowok. Cewek itu lebih tinggi dari Fia, dan tubuhnya ideal. Kalau dibandingkan dengannya, Fia bukan apa-apa.

“Kak Naufal, ayo,” kata cewek itu merengek manja.

Naufal mencoba melepaskan pelukan cewek itu di lengannya, cowok itu menatap Fia sendu kemudian menatap cewek yang memeluk lengannya. “Yuan, kita udah gak ada apa-apa lagi.”

Berhasil. Cewek yang dipanggil Naufal, Yuan itu melepaskan pelukannya sendiri.

“Kak Naufal lupa kalau mau nganterin aku hari ini ke mall? Kakak udah janji, loh,” kata Yuan kembali meraih lengan Naufal.

Naufal menepisnya. “Kapan gue janji sama lo?”

“Kakak lupa kalau semalem Kakak dateng ke rumah aku? Katanya mau nganterin aku hari ini.”

Naufal memijit pelipisnya, pening menghadapi adik kelas ini.

“Apa karena cewek ini kakak jadi selingkuhin aku?” Yuan menunjuk Fia yang jadi terbengong melihatnya.

Yuan mendekati Fia. “Jadi bener karena dia?”

Fia panik, cewek itu menggelengkan kepalanya. Tangannya berusaha menahan Yuan yang semakin mendekat. “Kita cuma temen biasa, nggak lebih.”

Naufal menarik Yuan yang hampir menampar Fia menjauh. Cowok itu menyuruh Fia tetap di belakangnya.

“Yuan, sebaiknya lo pergi sebelum gue permaluin di sini,” kata Naufal tenang.

“Kakak tega banget, sih, malah ngelindungin dia!” Yuan menunjuk Fia, “dasar cewek ular,” lanjutnya.

Fia terdiam di tempat. Jadi selama ini kedekatannya dengan Naufal tak berarti apa-apa bagi cowok itu.

Yuan maju mendekat, agak berjinjit dan membisikkan sesuatu ke telinga Naufal. Fia tak dapat mendengarnya. Cewek itu tetap diam sambil menatap keduanya bingung.

Naufal membalikkan badannya, memegang kedua pundak Fia. “Sorry, Fi, kita ke Banana Cafe lain kali aja,” katanya sebelum menggandeng tangan Yuan menjauh.

Fia menatap Naufal yang mulai menjauh dengan mata berkaca-kaca. Cewek itu melanjutkan langkahnya ke gerbang depan dengan terus menunduk. Semakin tak berani mengangkat kepalanya mendengar suara para cewek yang membicarakannya.

“Udah jelek gitu masih aja ngarep deket sama Naufal.”

“Naufal lebih cocok sama Yuan daripada dia.”

“Dibandingin sama cewek tadi, dia mah apa? Ampas.”

“Makan, tuh, ditinggalin Naufal demi cewek lain!”

Fia agak termundur ketika seseorang tak sengaja menabrak bahunya. Cewek itu mengangkat wajahnya takut-takut.


*


Naufal melepaskan genggamannya pada tangan Yuan, ia menghempasnya kuat sampai membuat cewek di depannya mengaduh. “Mau lo apa, sih?”

“Kenapa akhir-akhir ini kakak jarang hubungin aku?” tanya Yuan sambil memainkan ponselnya sebentar kemudian memasukkannya ke dalam saku.

Naufal menghela napasnya. “Lo tahu? Gue cuma main-main waktu ngedeketin lo.”

Cewek di depannya menutup mulut dengan sebelah tangannya, matanya berkaca-kaca. “Lalu kedekatan kita selama ini apa?”

“Gue udah gak minat sama lo. Lo terlalu gampang,” kata Naufal pedas. Terima kasih buat Lucky yang mengajarinya kalimat pedas.

Yuan memukul-mukul dada Naufal dengan kepalan tangannya yang bagi Naufal tak berefek apa-apa. “Udah?”

“Kakak brengsek banget!”

“Asal lo tahu, gue main ToD waktu itu, jadi jangan ngarep.”

Yuan mengusap matanya kasar. “Oh cuma main-main, ya?”

Naufal menegakkan tubuhnya, sepertinya cewek di depannya akan berubah.

Yuan tiba-tiba tertawa. “Hahaha, jadi selama ini Kakak main-main sama perasaan aku.”

“Ini aku yang emang baperan, atau kakak yang bajingan,” lanjutnya.

Yuan tersenyum manis. “Hm, oke, aku juga bisa kok kalau cuma main-main doang,” katanya kemudian berlalu pergi sambil menempelkan HP-nya di telinga.

Naufal menendang udara dengan kesal. Gara-gara Yuan ia jadi gagal pergi ke Banana Cafe bareng Fia untuk kedua kalinya.

Ingin kembali ke koridor menghampiri Fia, tapi cewek itu pasti sudah pulang lebih dulu. Dengan berat hati ia mengambil helm dan memakainya kemudian menaiki motornya dan menancap gas menuju suatu tempat.


*


“Laaaangg!!!” Ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar Galang di lantai atas. Ia membuka pintunya dengan kasar dan langsung melemparkan tasnya ke sembarang arah.

“Bangsat! Setan! Anjing!” Kata-kata sampahnya muncul karena kesal.

Galang bangun dan mendudukkan dirinya di pinggir kasur. “Buset, santai elah. Ada apaan?”

“Ada rokok kagak? Gue mau nyebat,” katanya ketus.

Galang menoyor kepalanya. “Atas meja sono, kalau mau nyebat di balkon aja,” katanya ikutan bangkit dan berjalan menuju balkon.

Naufal mengambil satu kemudian membakarnya. Ia menghisapnya dan menghembuskan asapnya pelan. Ia melemparkan kotak rokoknya ke Galang yang diterima cowok itu dengan baik.

“Yuan ngerusak suasana anjing,” katanya kemudian kembali menghisap rokoknya.

Galang menghembuskan asap rokoknya. “Kenapa sama Yuan?”

“Gara-gara dia gue jadi gagal ke Banana Cafe bareng Fia,” jawab Naufal menggebu-gebu.

“Ajak lain hari aja, jelasin baik-baik.”

Naufal mematikan rokoknya dan membuangnya, ia mengacak rambutnya sebentar kemudian beranjak masuk ke dalam kamar Galang dan merebahkan dirinya di kasur berukuran besar milik Galang.

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang