32. Terlalu Lemah

96 10 0
                                    

Buat Naufal,

Makasih buat kemarin. Kemarin adalah hari terbaik menurut gue. Pergi ke Banana Cafe tongkrongan anak Smarties bareng cogan. Hihi.

Gue senang ngeliat lo senyum terus kayak kemarin. Menenangkan gitu.

Makasih, ya, Fal, lo baik banget traktir gue kemarin padahal gue, kan, makannya banyak. Lain kali ke Burger Thunder, ya, gue yang traktir.

Dari Fia.

Entah mengapa Fia malah merasa kesal ketika dirinya tersenyum-senyum sendiri saat kembali membaca tulisannya. Uhh, dia merasa sangat cheesy sekali.

“Bisa-bisanya gue bikin surat yang iyuuh.” Fia bergidik melihat secarik kertas di atas meja belajarnya.

Lalu cewek yang sudah mengenakan seragam oranye dengan rok merah bermotif kotak-kotak itu menendang-nendang kakinya yang berada di bawah meja. Dia mengacak rambut pendeknya yang sudah disisir rapi, membuatnya jadi berantakan. Sesekali mengeluarkan suara-suara aneh yang tertahan.

“Fia?”

“Ya, Pa?” Mendengar suara yang barusan memanggilnya membuat Fia langsung duduk dengan tegak dan menoleh cepat pada pintu yang terbuka. Kepala Papa menyembul tak lama setelahnya.

“Ayo turun, kita sarapan bareng,” ajak Papa lembut. Lalu pintu tertutup.

Fia menghembuskan napas lega. Segera merapikan suratnya dan menyelipkannya pada bagian samping tas cokelat tua miliknya.

Fia mematut dirinya di depan cermin sebentar untuk merapikan rambut. Lalu setelahnya dia keluar menuju meja makan. Duduk di kursi yang berhadapan dengan sang Papa yang tersenyum hangat menyambutnya.

“Sekolah kamu gimana? Ada yang ganggu kamu lagi?” tanya Papa sambil menyendokkan nasi ke dalam piring. Lalu memberikannya pada Fia.

Fia tersenyum. “Baik, kok. Udah gak ada yang ganggu aku lagi.” Mungkin, lanjutnya yang hanya bisa dia ucapkan dalam hati. Fia tak mau membuat Papa khawatir. Dia akan menjadi anak kuat yang membanggakan.

Sejak masuk SMA, Fia sudah membuat Papa khawatir. Mulai dari dirinya yang dihukum saat MOS yang berlanjut hingga pertengahan semester dua kelas 10. Papa yang khawatir sampai bolak-balik ke sekolah dan mengabaikan pekerjaannya. Membuat perekonomian keluarga mereka terguncang saat itu.

Lalu Fia mencoba membantu Papa dengan berjualan secara online. Tak disangkanya bahwa banyak yang tertarik dan membeli padanya. Membuat bisnis Fia jadi berkembang meski belum terlalu besar.

“Kalau ada yang ganggu lagi kayak waktu itu, kamu jangan segan-segan buat nonjok mereka.” Papa tersenyum sambil meninju udara. Fia tertawa melihatnya, kemudian dia mengangguk mengiyakan.

“Ingat perkataan Papa aja. Kamu itu putri Papa yang paling cantik, jadi jangan peduliin omongan orang lain. Kalau mereka sampai bikin kamu luka lagi, kamu harus balas jangan diem aja, okay?”

Fia mengangguk. “Gimana bukan yang paling cantik? Aku, kan, anak Papa satu-satunya,” cibirnya. Papa tertawa sampai matanya menyipit dibalik kacamata kotaknya.


*


Kantin pada istirahat pertama sangat ramai. Terbukti dari panjangnya antrean di setiap konter yang menjual makanan.

Fia membuang napas pelan. Setelah menghitung satu sampai tiga dalam hati, Fia mulai melangkah lebih dalam. Melewati barisan meja yang penuh dengan siswa-siswi Smart High School dengan kepala tertunduk dan jantung yang terus berdebar cepat. Fia dapat merasakan kalau telapak tangannya mulai basah, Fia merasa gugup sekarang!

Ini bukan pertama kalinya Fia pergi ke kantin sendirian. Tapi, tetap saja rasanya sangat menakutkan. Dia bahkan terus menunduk menuju salah satu konter. Tak berani mendongak dan menemukan tatapan merendahkan yang ditujukan padanya.

Setelah berhasil memesan makanan, Fia melangkah ke meja kosong di sudut kantin yang dekat dengan salah satu konter di sana dengan nampan di tangan.

Fia menatap lapar pada nasi yang diselimuti telur dadar di hadapannya. Cewek dengan potongan rambut sebahu itu menggosokkan kedua tangannya tak sabar lalu mengambil sendok dan memotong telurnya.

“Wah, berani lo ngantin sendirian?”

Sampai sebuah suara membuat Fia berhenti memotong telurnya. Dia mengangkat kepalanya, menatap takut-takut pada cowok jangkung yang berdiri paling depan dengan tangannya yang terlipat di depan dada.

Lucky tersenyum miring melihat Fia yang mulai menunduk. Dia melirik pada Kevin yang berdiri di samping kanannya, memberi instruksi secara tidak langsung padanya.

Kevin menyeringai. Melangkah mendekati meja Fia dan meletakkan kedua tangannya di atas meja, mengurungnya. Fia tak berani mendongak. Tangannya meremas rok merah kotak-kotaknya.

“Jus alpukatnya enak, nih, kayaknya,” celetuk Kevin, melirik pada jus hijau yang masih penuh. Lantas cowok itu mengambilnya dan mengaduknya menggunakan sedotan.

San ikut mendekat. Menarik piring Fia yang isinya belum dimakan sedikit pun. San mengangkat alisnya, jemarinya mengambil sendok di sana dengan ujung jarinya, seperti merasa jijik. Lalu San mulai mengaduk-aduk isinya.

Niken menyela di antara kedua temannya. Dengan cepat dia menyambar gelas jus di tangan Kevin dan menuangnya di atas nasi omelet milik Fia. Sementara San melakukan tugasnya, kembali mengaduk nasi itu sampai rata dengan jus alpukat.

Fia menatapnya pias. Tak mampu berkata-kata. Padahal dia membeli makan siangnya dengan uang.

Fia kembali menunduk, tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. Membiarkan saja mereka mengacaukan makan siangnya. Dalam hati mulai merasa bersalah, tak bisa menuruti perkataan Papa untuk membela diri.

Dirinya terlalu lemah untuk itu. Fia bukanlah anak perempuan kuat seperti yang diharapkan Papanya.


BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang