18. Strawberry Cheesecake

111 8 0
                                    

Buat AN,

Ini hari Jumat, loh. Tepatnya udah seminggu sejak gue lomba futsal. Dan seminggu sejak terakhir lo ngasih gue surat.

Lo lagi di skors? Atau sakit? Atau gimana?

Gini, ya, rasanya.

Dari Naufal.

Naufal menulis surat itu dengan bibir yang ditekuk. Dia bahkan mengabaikan temannya yang kini saling bercanda sambil keluar kelas. Kemudian dia melipat kertas itu menjadi dua bagian, lalu melihatnya lagi menjadi dua bagian sebelum menyimpannya ke dalam saku celana cokelat yang dia kenakan.

Lucky yang tetap duduk di kursinya sampai kelasnya sepi kini memutar tubuhnya ke belakang. Menatap Naufal yang memasang muka masam dengan kening berkerut. Ini aneh. Aneh sekali. Naufal yang biasa dia lihat adalah Naufal yang ceria, suka menggoda murid perempuan dengan kedipan mautnya. Namun, akhir-akhir ini dia terlihat tidak bersemangat dan selalu lesu. Jadi Lucky mengambil inisiatif untuk mendekatinya sekarang.

“Lo kenapa, dah?” Lucky bertanya.
Naufal menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Gak! Gak papa, kok. Haha. Emang gue kenapa?” tanyanya dengan tawa yang dibuat-buat.

Lucky menyipitkan mata curiga, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Dia menghargainya. Mungkin saja itu adalah masalah keluarga, sehingga Lucky tidak akan menyinggung privasinya.

“Gue balik dulu, lah. Mau kerkel sama Ruby. Bisa diamuk ntar kalau gue telat.” Lucky mendengkus. Menepuk bahu Naufal sekali sebelum berlalu.

Naufal hanya mengangguk singkat. Terus memperhatikan punggung temannya yang menghilang di balik pintu. Dia menghela napasnya dengan berat sebelum meraih sebuah tas hitam dan bergegas untuk pergi ke perpustakaan.

*

“Galaaaang!”

Galang tengah memindahkan sepotong strawberry cheesecake ke piring begitu suara teriakan terdengar keras dan hampir membuatnya menjatuhkan kue enak tersebut. Dengan kening berkerut Galang menoleh pada pintu dapur. Lalu sosok yang dikenalnya masuk dengan senyuman lebar.

“Weis, enak, nih, kayaknya.” Naufal langsung menyerobot dan mengambil kue yang baru saja dipindahkan ke piring itu. Membawanya ke sisi meja yang agak jauh dengan Galang yang kini menatapnya dengan kesal.

Naufal menyengir. Tanpa rasa bersalah dia langsung mengambil roti dan memakannya. Mulutnya penuh, tetapi cowok itu berbicara, “Hm. Enwak bangwet.”

Galang berdecak. “Itu, kan, kue gue!” serunya tidak terima. Itu adalah kue favoritnya, tetapi Naufal justru memakannya dengan santai.

“Halah, itu, kan, masih banyak,” sahut Naufal santai sembari melanjutkan aksi makan kuenya.

Meski masih banyak tetap saja Galang merasa kesal. Kue ini dibuat khusus untuknya oleh pattisier ahli, dengan bahan-bahan premium yang berkualitas. Itu merogoh kocek yang tidak sedikit.

“Lang, lo anak sultan jangan pelit napa? Sama temen sendiri juga,” kata Naufal jadi mencibir. Cowok yang masih mengenakan seragam pramuka dan membawa tas di punggungnya kini mendorong piring yang sudah bersih itu menjauh. Kemudian mengelus perutnya dengan sayang. “Nak, kamu masih lapar, ya? Sabar, ya? Papa kamu emang pelit.”

Setelah mengatakan itu, Naufal buru-buru melompat menghindari lemparan kue kuning dan merah tersebut. Kursi yang dia gunakan untuk duduk sebelumnya kini sudah jatuh. Matanya melotot horor pada kue yang sudah tidak berbentuk di lantai dan juga Galang bedgantian. Selanjutnya yang dilakukan Naufal adalah bergegas memacu langkah keluar dari dapur.

“NOPAL! SINI LO, ANJING!”

Mami Linda yang kebetulan mau pergi ke dapur jadi sedikit terhuyung ketika Naufal menabraknya. Untungnya pemuda tampan itu membantu menahan Mami Linda dengan meraih tangannya. Lalu bersembunyi di belakang punggungnya.

“Mi, itu si Galang masa marahin Fal, sih? Padahal, kan, Fal Cuma minta kuenya dikit. Eh, dia gak terima. Dasar pelit!” adunya disertai hujatan tersirat. Dia sedikit mengintip melewati bahu Mami Linda untuk melihat, sedetik kemudian dia kembali menundukkan kepala.

“Galang, bicara yang sopan,” tegur Mami Linda. Di balik bahunya ada Naufal yang kini menjulurkan lidah mengejek ke arah Galang, membuat cowok itu semakin kesal dan menatapnya tajam. Andai saja tatapan bisa membunuh orang, maka Naufal sudah tergeletak lemas di lantai marmer putih tersebut.

Setelah kejadian di dapur itu berakhir kini keduanya sudah berada di kamar Galang yang sangat luas. Naufal segera melompat ke kasur besar yang berada di tengah. Kemudian menggerakkan kedua tangan dan kakinya ke atas dan ke bawah, membuat sprei dan selimut yang semula rapi menjadi kusut. Begitu pula dengan si pemilik kamar yang wajahnya ikut menjadi kusut setelah melihat kelakuan Naufal.

“Balik sana. Ngapain ke rumah gue, sih?!” tanya Galang sengit. Cowok itu mendudukkan diri pada kursi yang menghadap ke balkon. Menikmati pemandangan pepohonan hijau dari kamarnya yang berada di lantai tiga.

“Gak, ah. Abang gue mau balik ke rumah hari ini. Kalau gue pulang yang ada malah disuruh jemput! Dih, ogah banget gue jadi sopir dadakan buat dia.”

Naufal memiliki seorang kakak laki-laki yang berkuliah di Surabaya. Sudah lama kakaknya itu tidak pulang, dan ketika dia mengabari ingin pulang, Naufal yang tidak mau pulang ke rumah. Sebab dia yang akan disuruh menjemput sang kakak di bandara karena katanya yang termuda harus mematuhi yang tua. Itu menyebalkan untuknya. Lebih baik mengungsi di rumah Galang saja.

“Dasar laknat!”

*

Double up!

Maaf ya baru bisa apdet sekarang_/\_

Terima kasih buat kamu yang masih baca!

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang