28. Udah Tahu Gue, kan?

105 8 0
                                    

Buat Fia,

Yes! Perjuangan banget tahu gak nemuin loker lo.

Kesel gue bolak-balik perpus tiap hari sampai Mrs. Selvia heran karena gue jadi sering ke sana. Dikira rajin kali gue.

Balik sekolah Banana Cafe, kuy. Ada yang pengin gue omongin.

Dari Naufal.

*

Naufal tak henti-hentinya memamerkan senyuman lebar di sepanjang perjalanan menuju kelas. Suatu keberuntungan bagi murid perempuan karena disuguhi senyuman dari kakak kelas tampan di pagi hari.

Naufal tak peduli hal itu. Dia terus berjalan sambil terus tersenyum layaknya orang gila.

“Gila, lo. Ngapain senyum-senyum sendiri?”

Suara itu membuat Naufal menoleh. Menemukan Lucky yang memasang tampang sinisnya, Naufal jadi tersenyum semakin lebar.

“Udah gila beneran kayaknya.” Lucky menggeleng-gelengkan kepala kecilnya dan mempercepat langkah. Sepertinya dia tidak mau ketularan gila.

“Woi, Ki! Tungguin gue!”

“Apaan, sih, jangan berisik,” seru Ruby kesal. Cewek berambut pendek itu duduk di pojok belakang dengan kepala menelungkup di atas meja.

Memiliki nama yang sama dengan keturunan Achazia dari kelas 11 MIPA 4 dan juga potongan rambut sebahu yang sama membuatnya sebal. Mereka bahkan dari keluarga yang berbeda tapi terus saja disama-samakan. Jadi Ruby IPS 4 memilih tetap diam di dalam kelas daripada keluar dan membuatnya diolok-olok hanya karena sebuah nama.

Naufal mengulum bibirnya. Dia berjalan ke kursinya dengan tanpa suara. Tak mau mengganggu singa betina yang sedang tertidur.

Ruby memiliki kesamaan dengan Fia. Sama-sama sering diejek saat keluar kelas. Hanya saja perbedaannya sangat mencolok. Ruby akan bertindak seperti singa betina kalau ada orang yang mengganggunya melebihi batas. Sementara Fia akan tetap diam dan menerima.

Naufal mengerjapkan matanya ketika mengingat sesuatu. “Bego. Harusnya kemarin minta nomernya aja daripada minta nomer loker doang,” rutuknya.

“Fal! Nyebat, gak?”

“Gak. Males gue,” balas Naufal tak semangat. Sejak kemarin, dia jadi mencoba menghindari benda terkutuk itu.

“Gegayaan pake males segala. Biasanya kalau ada gratisan juga maju paling depan,” cibir Kenzie yang kebetulan sedang melewati meja Naufal.

“Di rooftop, nih. Ada wifinya si Nathan dia juga mau ikutan,” sahut Eric cepat. Naufal tetap menggeleng.

Lucky berdecak. Dia mendekati Naufal dan berkacak pinggang. “Ikut gak lo? Tumben banget gak mau. Mumpung rame, nih.”

Alaska merangkul bahu Lucky. “Ntar kalau ada guru ditanyain. Kenapa ini yang cowok cuma tinggal kamu doang? Dih, gue gak mau, ya.”

Setelah menarik napas panjang akhirnya Naufal mengangguk. Mengalah mengikuti temannya menuju rooftop.

*

Buat Naufal.

Fal, ngapain pakai surat? Lo udah tahu gue, kan?

Kenapa gak ngomong langsung aja?

Emangnya mau ngomongin apa?

Pas di sekolah emang gak bisa?

Dari Fia.

*

Fia mengerucutkan bibirnya setelah melihat kertas putih di tangan. Lagian mereka juga udah saling kenal kan kemarin. Lalu kenapa masih mengirim surat? Kan, bisa diomongin baik-baik pas ketemu. Heran Fia jadinya.

“Fia! Ngantin, yuk?” ajak Febrina.

Perempatan siku langsung tercetak di dahi Fia yang tertutup poni samar-samar. Aneh. Lagian, Fia gak terlalu dekat sama Febrina.

“Gue butuh temen buat ke kantin, nih, biar gak sendirian,” lanjutnya dengan raut memelas.

Tangan Fia merogoh sesuatu di loker. Lalu mengeluarkan sebuah kotak merah muda cerah ke atas meja.

“Sorry, tapi gue udah bawa bekal.”

Febrina merengut lalu segera pergi. Membuat Fia menghela napas lega. Meski itu teman kelasnya, tak bisa dipungkiri kalau tak semua dari mereka bisa dekat dengannya. Hanya beberapa saja yang dekat, sementara yang lain hanya dekat jika diperlukan saja. Hm. Seperti itulah teman.

Fia membuka kotak bekal merah mudanya. Nasi putih memenuhi setiap sudut kotak bekal tersebut. Dilapisi telur dadar dengan sosis dan brokoli di atasnya. Lalu dihias dengan saus tomat membuat bekal itu terlihat manis.

Fia menghela napasnya. Dia jadi tak tega ketika melihat bekalnya yang begitu imut. Jadi, setelah memantapkan diri, Fia meraih sendok yang tergeletak di sebalah kotak bekal. Tangannya bergerak memotong telur dadar lalu melahapnya dengan cepat bersama nasi.

“Fia! Lo kok bawa bekal?!”

Fia tersedak. Dia terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.

Dea mendekat. Langsung menyodorkan air putih yang selalu dibawanya ke mana-mana. Ya, perempuan tinggi itu penggila tupperware, jadi hal seperti air mineral itu tak pernah ketinggalan.

Fia mengusap sudut matanya yang berair. Dia menatap Dea dengan kesal, membuat yang ditatap hanya bisa menyengir menampakkan gigi putihnya yang rapi.

“Tumben banget bawa bekal? Kenapa gue gak diajak? Kan gue bisa bawa banyak makanan buat dimakan bareng,” cerocos Dea tanpa henti.

“Hm, mager aja mau ke kantin. Jadi dibikinin bekal sama Papa.”

“Halah, lo, kan, emang jarang banget ngantin,” cibir Dea.

Fia tak membalasnya. Dia kembali melanjutkan memakan bekal. Tak menghiraukan Dea yang kini mengoceh panjang lebar entah apa yang dia bicarakan.

“Gue mau dong, Fi, kayaknya enak deh,” pinta Dea tiba-tiba.

Fia mengerjapkan matanya berulang kali sampai kemudian dia berseru sinis, “Bikin sendiri sana!”

BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang