Buat AN,
Gue seneng akhirnya bisa tahu identitas lo. Kayaknya lo itu yang selalu bareng Ruby ke kantin, kan?
Gue minta maaf karena selama ini lo sering di-bully sama temen gue, sedangkan gue tetep diem gak bantuin lo.
Mungkin kita bisa makan bareng di Banana Cafe sebagai bentuk permintaan maaf gue.
Dari Naufal.
Naufal memukul kepalanya sendiri. Dia merasa sangat bodoh tak tahu kalau AN adalah cewek gendut yang selalu bersama Ruby ketika ke kantin. Dan bodohnya lagi, Naufal cuma fokus ke Ruby doang gak peduliin temennya.
Setelah menyelipkan sepucuk surat dengan sebuah permen kaki sebagai sogokan ke dalam amplopnya hasil curian dari kelas, Naufal beranjak dari perpustakaan. Dia merenggangkan kedua tangannya sambil terus berjalan menyusuri koridor yang tampak ramai. Tentu saja, ini adalah jam istirahat. Siswa-siswi Smart High School pasti akan berkeliaran di mana saja.
Sesekali Naufal mengedipkan sebelah matanya pada adik kelas yang menyapa. Dia terkenal sebagai wink boy, yang mampu melelehkan siswi perempuan hanya dengan satu kedipan saja.
“Dari mana aja lo?”
Pertanyaan itu menyambut telinga Naufal ketika sampai di salah satu meja di sudut kantin. Cowok gembul itu berdeceh sebelum duduk kursi kosong yang sudah disisakan untuknya.
“Ganggu aja lo,” sungutnya kesal.
“Hati-hati aja. Gue liat si Yuan bukan cewek biasa,” bisik Orion.
Naufal mengernyit. Agak terganggu dengan perkataan Orion barusan. “Emangnya Yuan apaan? Wonder women? Cat women? Atau my women?” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Naufal tertawa garing.
Lucky refleks menoyor kepala sahabatnya itu karena mereka duduk bersebelahan. Tak lupa juga pelototan tajam dia berikan.
“Mending udahan aja, Fal. Dia aneh tahu, gak?”
Naufal hanya mengendikkan bahunya. Matanya berbinar ketika tak sengaja menatap semangkuk mi ayam di depan Lucky yang masih utuh. Setelah menggosok kedua tangannya, Naufal menarik mangkuk itu mendekat. Mengambil mi dengan sumpit dan memakannya diiringi umpatan kasar dari Lucky, cowok kerempeng yang tingginya setara dengannya.
*
Buat Naufal,
Gue gak butuh maaf dari lo, karena nyatanya gue emang pantas buat di-bully.
Mungkin kita berhenti di sini aja, lagian banyak temen lo yang gak suka sama gue.
Please gak usah bales surat ini.
Dari Fia.
Setelah berulang kali membaca tulisan tangannya, Fia mengangguk merasa yakin. Sebenarnya dia juga tidak yakin, sih, tapi mau bagaimana lagi?
Apalagi setelah tadi dia mendapatkan sebuah permen kaki di dalam amplop yang diambilnya dari perpustakaan. Fia semakin tidak rela.
“Fi! Lo ngapain?”
Buru-buru Fia menyembunyikan surat balasannya ke dalam loker secepat kilat. Dia memaksakan tawanya keluar begitu Dea sudah berdiri di dekat mejanya.
“Lo ngumpetin apa? Jangan bilang lo lagi ngutang?” tanyanya menyelidik.
Fia menggeleng. Menyilangkan kedua tangannya yang terbalut seragam krem dengan aksen kotak-kotak merah di pinggirnya. “Ngapain ngutang? Gue ngitung jualan, ya. Lo ganggu makanya gue umpetin biar gak buyar itungan gue nanti.”
Dea hanya terkekeh dan menarik kursi untuk tempat duduknya.
“Wah, permen siapa, nih?” tanya Dea begitu melihat sebatang permen berbungkus biru tua tergeletak manis di atas meja. Dia segera mengambil permen itu dan membuka bungkusnya dengan cepat. Lalu memakannya sebelum gadis gendut di depannya melancarkan protes.
“Dea! Kenapa dimakan, sih? Itu, kan, punya gue!” raung Fia kesal. Dia bahkan berniat menyimpan permen itu tanpa memakannya karena itu adalah pemberian spesial dari seseorang.
“Emang kenapa? Permen doang,” balas Dea. Tangannya mengambil batang permen itu dan mengeluarkan permen merah itu dari mulutnya, menunjukkannya pada Fia yang sudah memasang tampang cemberut.
“Nih, gue kasih.”
Fia melotot. Menabok keras bahu sempit Dea lalu keluar.
Fia ingin menangis di sepanjang koridor hanya karena masalah permen. Tapi, permen itu kan memang spesial. Tidak seharusnya Dea memakannya tanpa izin.Jadi, dengan kepala yang terus menunduk memikirkan permen kaki itu, Fia membiarkan kakinya membawanya entah ke mana.
Cewek berambut pendek sebahu itu mendongak ketika kakinya berhenti di depan koperasi siswa. Dia melangkah ke dalam dengan agak ragu meski mendapat senyuman manis dari mbak penjaga koperasi.
“Mbak, permen yang enak yang mana, ya?”
“Semua permen di sini dijamin enak. Kalau gak percaya, kamu bisa beli satu-satu,” jawab mbak Sari, penjaga koperasi dengan menggebu-gebu.
Fia tertawa kaku. Dia mengedarkan pandang, lalu berhenti di sebuah stoples bening berisikan permen tangkai berbagai warna. Fia menunjuknya. “Aku mau beli itu Mbak, berapaan?”
*
“Fia!”
Fia memberengut kesal saat Dea menghadangnya. Fia melangkahkan kakinya ke kanan tapi Dea mengikutinya. Lalu beralih ke kiri, Dea juga mengikutinya. Akhirnya Fia mendongak menatap Dea ketus.
“Apa?!” tanyanya galak.
“Ya elah, Fi, cuma permen kaki lima ratus perak doang masa marah sama gue, sih?” Dea mengerucutkan bibirnya.
Fia tak menjawab. Merasa ada celah, akhirnya Fia berlari secepat kilat melewati Dea yang masih berdiri diam di ambang pintu.
Fia terus berlari tak memedulikan teriakan Dea. Sesekali dia menolehkan kepala ke belakang, melihat Dea yang juga berlari mengejarnya.
Beruntung, tak perlu menunggu, di depan sudah ada bus yang berhenti di halte. Fia masuk ke dalam sana. Lalu entah bagaimana, bus itu segera melaju ketika Fia sudah berada di dalam. Fia menghembuskan napas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...