“Fiaaaa!”
Cewek berpipi bulat yang lagi menghitung jari di kursinya jadi mengangkat kepala begitu mendengar namanya dipanggil. “Apa?” balasnya ketus.
Dea menampakkan cengirannya begitu sampai di dekat meja Fia. Cewek tinggi menjulang itu mengerucutkan bibirnya kemudian. “Ayo kita ke lapangan. Anak-anak udah pada ke sana.”
“Gak mau,” tolak Fia langsung tanpa berpikir panjang. Kembali menunduk, menghitung dengan jari tangannya.
Di mejanya ada sebuah buku yang terbuka lebar-lebar. Tulisan-tulisan bertinta hitam, biru, dan merah terdapat di atasnya. Beberapa detik kemudian, Fia mengambil pulpen berwarna biru dan menulis sesuatu di sana.
Dea berdecak. Dia langsung menyeret Fia yang kini jadi menatapnya sebal sambil berusaha melepaskan cekalan pada tangannya. Meski memiliki tubuh yang besar, Fia bahkan tak bisa melepaskan diri dari Dea yang cungkring dan tinggi seperti tiang jalanan. Fia mendengkus kesal, pasrah mengikuti ke mana Dea menyeretnya keluar.
Kalau ditanya kenapa Fia gak mau keluar kelas, dengan cepat cewek bulat itu akan menjawab “Gue takut.”
Sesimpel itu. Tapi kenyataannya enggak.
Fia terlalu takut sama dunia luar. Membuatnya suka mendekam di dalam kelas meski sendirian.
Dia takut pandangan orang-orang terhadap tubuh gempalnya. Tak jarang dia diledek karena hal tersebut. Padahal dulu Fia yakin-yakin saja kalau bertubuh gemuk akan membuatnya terlihat imut.
Saat kelas 10, Fia dirundung hanya karena bentuk tubuhnya yang tak seperti siswa lain kebanyakan. Fia si ceria akhirnya berubah jadi murung dan pendiam. Kelas selalu menjadi markas terbaik untuknya. Hingga kebiasaan itu terus berlanjut sampai kenaikan kelas.
Dea menghentikan langkah, langsung duduk di salah satu kursi tribune dekat Ellina yang terus menatap tajam ke depan. Fia mengikutinya, duduk di salah satu kursi di sana.
Fia menoleh ke samping kirinya, menemukan Sellindra yang menyengir sebelum ikut duduk. Lalu Fia mengalihkan pandangannya ke depan.
Smart High School merupakan sekolah negeri bertaraf internasional. Fia merasa bangga bisa bersekolah di sini, terlepas dari perundungan yang dia terima.
Di depannya, ada lapangan rumput yang terbentang luas di bagian belakang sekolah. Tribune berisi kursi penonton mengelilinginya. Dengan run track yang juga mengelilingi lapangan.
Harusnya, Fia hanya perlu melihat pertandingan futsal ini dari jendela kelasnya saja yang berada di lantai dua. Jadi dia tak perlu repot-repot turun ke bawah berdesak-desakan dengan banyak murid lain yang juga ingin menonton.
Tapi karena Dea yang langsung menariknya paksa, Fia hanya menghela napas dan menurut. Dia termasuk anak yang susah dekat dengan orang lain. Tapi Dea, siswa pindahan semester pertama mampu membuatnya nyaman dan mereka berteman dekat.
Fia menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya bergerak gelisah melihat begitu banyaknya murid Smart High yang kebanyakan perempuan memenuhi tribune hanya untuk menonton futsal. Pemandangan yang sudah biasa jika yang sedang bertanding adalah anak kelas pangeran. 11 IPS 4 beserta keluarganya. Yaitu, 10 IPS 4 dan juga 12 IPS 4.
Kelas IPS 4 mendapat julukan kelas pangeran meski ada murid perempuan di dalamnya. Berlaku pada setiap angkatan, karena selalu berisi cowok-cowok tampan penuh pesona.
Seperti sekarang, saat cowok-cowok di lapangan itu melakukan pemanasan saja sudah banyak siswi perempuan yang histeris. Fia memutar bola matanya, meski menyukai drama Korea dia tak terlalu ambil pusing dengan spesies cogan di sekolahnya karena pikirannya selalu terpaku pada sosok oppa-oppa yang tampan.
“Heh, astaga! Cakra kerennya minta gue karungin aja,” seru Sellindra yang duduk di samping kiri Fia dengan heboh. Cewek itu sampai mengelus dadanya menyabarkan diri.
Fia melotot kecil melihatnya. Lalu geleng-geleng kepala sebelum kembali melihat ke lapangan. Bibirnya mencuat, menggerutu pelan, “Apanya yang keren, sih?”
Namun, masih bisa didengar Sellindra. “Apa lo bilang?!”
“Ha? Enggak, kok, enggak!” Fia menoleh dan menggeleng dengan cepat. Tangannya juga dia goyang-goyangkan membantah. Dia tak mau membuat masalah dengan Sellindra yang mengaku jadi modelnya 11 MIPA 4 selain menjadi mak comblang. Bisa-bisa dia kena musibah nanti, jadi lebih baik Fia cari aman saja.
Sellindra melengos. Tak jadi membalas Fia, lebih memilih berteriak heboh menyemangati sosok cowok yang menjadi incarannya di kelas pangeran.
Fia mengerjap pelan. Lalu memusatkan perhatian ke depan. Pandangannya tak sengaja jatuh pada seorang cowok dengan pipi gembulnya mengedipkan satu matanya. Yang langsung membuat para siswi menjerit histeris.
Fia membeku. Matanya masih terus memperhatikan cowok itu yang kini berlari mendekati temannya.
“Dia salah satu spesies buaya yang keliatan imut.” Sellindra berbisik di dekat telinga Fia.
Cewek berpipi bulat itu terkejut, menoleh cepat pada Sellindra yang mengedipkan sebelah matanya kembali menatap ke depan.
Fia memilin rok merah kotak-kotaknya, sesekali menjilat bibirnya gugup. Tatapannya terus tertuju pada cowok berpipi gembul tadi. Kenapa rasanya ada yang melilit perutnya, ya?
Tanpa sadar bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman hingga matanya menyipit. Fia agak mendekatkan tubuhnya pada Sellindra.
Sellindra yang paham jadi ikut mendekat.
“Namanya siapa?” bisik Fia pelan. Dia tak mau ambil risiko kalau temannya tahu nanti.
“Namanya ....”
*
*
Hola!
Balloons masuk salah satu series Azerus sama kayak Wings. Di Wings kayaknya si Fia ini muncul juga deh haha cuma dikit tapii
Yukk dukung Balloons dengan cara berikan vote dan tulis komentarmu (•ө•)♡
Masukin cerita ini ke library kamu dan tungguin lanjutannya yaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Teen FictionKatanya cinta itu buta. Tapi, kenapa fisik selalu jadi penentu utama? * Berawal dari terpaksa nonton futsal, Fia terpesona pada sosok cowok yang dijuluki wink boy dari Kelas Pangeran. Berkat saran dari Sellindra yang sudah terpercaya menjadi Mak Com...