BAB 5: MENYEBALKAN

1.8K 236 3
                                    

Langit menyilang kedua tangannya ke ketiak bersahut gigi gemeretak karena sapuan angin tak jemu terus mengikutinya. Langit dibikin menggigil di tepi jalan menuju pulang. Pohon nyiur di samping, rimbun buah menggelantung, menggeliat tergerak angin menggelitiknya tak segan menimpa pejalan kaki yang ada di bawah.

Langit mendongakan kepala ke arah pohon kelapa itu. Dia harus waspada. Sebagai antisipasi, tiga langkah ke depan dalam tempo cepat. Lekas dia berjalan kembali. Kalo tidak, buah itu bisa jatuh secara sepihak menimpa kepalanya.

Langit melihat bidang sawah di seberang jalan dengan tanah sedang dibajak oleh traktor. Seorang pria kiranya 40-an, kaus kotor karena tanah, disusul celana selutut sama-sama kotor terciprat ban besi. Pria itu anteng memegang kendali traktor seraya membajak rapi mulai dari sisi.

Sapuan angin menggoyah pohon pisang yang ada di tepian sungai. Pria itu tampak biasa tanpa merasa dingin atau terganggu, padahal angin benar-benar besar, bikin daun pisang robek-robek.

Ngingg ...

Telinga Langit mendengar lengkingan sayup-sayup seruling dari arah belakang. Lekas dia berdiri tegak. Badan yang dingin karena angin tiba-tiba hirap. Langit memutar tubuhnya ke belakang mencari suara itu.

"Putu!" serunya, menghampiri pedagang putu yang dipikul ke bahu seorang pria baya. 

Suara lengkingan seruling terus mengalun tanpa jeda itu berasal dari seruling besi yang ditaruh di atas kaleng yang dibalik. Seruling itu mengeluarkan suara lengkingan bak ketel uap karena di dalam kalengnya terdapat air yang mendidih oleh kompor yang menyala, meniup uap panas dan mengalun seperti seruling.

"Kue putunya lima ribu, ya, Pak," pinta Langit.

Pikulan diturunkan. Mulai menarik laci isinya toples bening berisi adonan tepung beras warna hijau muda. Cetakan bambu yang kiranya berukuran 5cm diisi oleh adonan tepung lalu diberi gula yang sudah diiris sebagai isian. Kaleng datar di atas telah diberi lubang dua buah ditutup oleh cetakan bambu berisi adonan putu, lalu ditaruh di atas lubang yang keluar uap panas dari air mendidih di dalam oleh api yang nantinya mengukus kuenya hingga matang.

Langit melihat dengan saksama detik-detik si bapak meramunya meski dia bertaut alis bingung.

Kue tradisional kesukaan setelah kue ali. Bedanya kue ali itu adonan ketan lalu dibuat melingkar di tengahnya bolong seperti donat. Rasanya sama-sama manis.

Cetakan bambu berisi adonan tepung itu dicabut telah matang. Lalu dibungkus daun pisang membentuk wadah. Parutan kelapa putih ditabur di atasnya sebagai topping putu.

"Makasih," Langit tak sabar mencicip.

Langit mengulurkan uang kertas berlalu melanjutkan pulangnya seraya menyantap kue putu yang memiliki; rasa asin, manis, gurih, dan lezat itu. Saat digigit dan mengenai indera pengacapnya, gula merah didalam kue putu itu membikin Langit tak mampu melahapnya sekali gigit. Rasa manis karena gula aren yang melumer di dalam mencipta rasa yang balance. Melumer.

"Rasanya tak pernah berubah," puji Langit sembari berjalan di trotoar dengan bendera mengibar bebas di tiang sepanjang jalan.

"Langit!" sayup seseorang memanggilnya dari arah belakang. Suara yang tak asing dari telinga Langit. Gio.

"Aku tidak dengar!" imbuh Langit tak acuh, jalan lagi.

Derap kaki yang terekam oleh telinganya kian dekat. Langit mendelik, menaikan tempo jalannya setengah lari. Kue putu di wadah pisang yang dia pegang di tangan ikut terlonjak seperti gempa.

Gio di belakang dengan lari seorang maraton disusul napas tersenggal dengan secarik kertas di tangan mengejar Langit yang tak acuh padanya. Beberapa kali dia memanggil sekuat tenaga karena jaraknya berjauhan, Langit tetap setengah lari.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang