BAB 57: SAMPAI BERTEMU

306 40 5
                                    

Seragam merah berlogo palang merah di lengan juga celana kargo dikenakan oleh Langit. Syal oren melilit leher dan bentuknya segitiga di belakang.

Pagi ini jam menunjuk pukul setengah enam pagi. Ayam berkokok milik tetangga dan dingin pagi hari. Embun bekas hujan kemarin menempel di daun terong yang Wati tanam di pelataran. Lantai halaman basah bekas hujan nampak subur bahkan rumput tumbuh seperti taman.

Langit mencium punggung tangan Wati di ambang pintu bersamaan mulai melangkah menapak lantai keramik teras. Jalan pelan dan sepatu pentopel perdana memijak tanah basah itu lalu Langit meneruskan hingga jarak kediaman mulai berjangka.

Jalan setapak sisinya ilalang. Pagar besi memanjang dan bawahnya kawasan restoran halaman yang kursi dan mejanya basah oleh hujan lalu.

Tas digendong terlihat gemuk juga bernas, dijejal akan barang bawaan yang entah apa isinya.

Langit jalan pelan berplesir kesendirian yang kala jalan aspal hitam tak digilas oleh ban. Terlihat lengang hanya motor yang berlewat dan itupun lama.

Langit melewati tanah lapang yang dulu pasar malam bergerilya di sana. Kini, semuanya bekas kenangan, meninggalkan kesenangan, dan sekarang menjadi lapang kosong. Tak berhuni oleh kincir pelangi juga kora-kora itu.

Dingin itu di pagi hari, rambut botak terbabat habis kala lara waktu lalu. Terasa dingin jika lama-lama dirasa. Poni hanya secuil dan tumbuhnya lama. Langit acap meniupnya meski tak ada gerakan.

Bulan ini adalah acara besar: acara pengurus baru untuk sertijab. Lapang sudah diisi para sesepuh kelas dua belas berseragam kebanggaan masing-masing. Pramuka, Paskibra, PMR, Angklung juga paduan suara.

Langit masuk kedalam ruangan seperti terungku kala jendelanya dipagar besi, ruangan sedang kursinya menyatu oleh meja kecil sebagai alas menulis. Ditengah dibikin lebar tak ada kursi, kursinya dirapat ketepian. Langit menaruh ransel di kursi itu di pojokan dan terkumpul tas lain yang gempal sama. Peralatan masak juga camping terkumpul di dalam.

"Langit," suara itu memanggilnya dari wanita tak asing.

Bayang seseorang menjiplak dilantai keramik kala lengang hanya baling kipas di atap memutar.

Tangan mengudara dan jari tangan lentik menyentuh bahu Langit yang membelakangi menyembunyikan roman malas bersahut.

"Apa?"

"... sabar, ya. Aku tahu kok itu sulit. Kamu pasti bisa melakukannya." terlontar dari bibir wanita itu.

Langit memutar badan menghadap dia, lalu wanita itu mendekapnya seraya mengelus punggung Langit memberi semangat.

"Kita briefing dulu di ruang ekskul." tuturnya.

Langit menganguk lekas jalan bersama dengannya. Balkon lantai dua sekolah, dan keduanya jalan di sana.

"Dia akan ikut?" memulai dialog lagi.

"Diakan futsal. Pasti ikut." jawab Langit agak datar.

Ruangan para sesepuh kelas dua belas dari bagai ekstrakurikuler berkumpul di sini. Mereka berseragam kebanggaannya.

Langit dan juga timnya duduk di kursi kuliahan berkumpul dengan ekskulnya.

"Hari ini adalah hari terakhir gelaran kita bikin acara spektakuler. Aku ataupun kita, berharap semuanya lancar dan tentu akan dikenang meski kita sudah jatuh menjadi siswa biasa memulai serius menuju ujian." Hana berorasi berbalut kemeja biru dongker OSIS.

Semua di dalam ruangan, duduk di bangku masing-masing mereka.

Langit tak banyak tengok fokus mendengarkan Hana. Dia orasi dan juga menyebutkan peraturan terakhir bersikap profesional kali terakhir.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang