BAB 20: JANGAN BIKIN SINGKAT

917 122 3
                                    

Gio telungkupan dengan kaki mengacung ke atas di kasur kingsizenya. Lampu temaram di nakas menguar lindap mengisi setengah gelap. Dia sedang mengetik di papan keyboard laptop.

Sebuah laptop dengan lampu berbentuk apel di belakang cover. Lampu backlight menyorot wajah mulus sedikit eksotis miliknya. Bibir ranum atas sedikit hitam bawahnya tampak kaku tak membuka atau pun melengkung pamer benda putih sebesar biji jagung yang berderetan rapi.

Sesekali pipinya menekuk dua mini ke dalam. Amat manis apalagi jika ditambah senyum.

layar gawai gelap terpajang di samping laptop dengan gantengnya pingsan. Tak lama sebuah getaran disusul layar menghidup menampak nama pujaan hati bernama Langit.

Gio menggerakan kedua bola matanya kesamping pada ponsel. Bibir kaku itu membuka sedikit terhias lengkungan tak paksa. Gio menghentikan jari diketikan keyboard yang terdengar ribut juga suara ketukan terakhir menyisakan sebuah kata 'hanya' di layar.

Gio memegang benda pipih itu dengan kedua telapak tangan, entah tangannya berasa mungil, layar enam inchi itu bongsor memaksa jari-jemarinya berurat halus kehijauan.

Cahaya menguar ke wajah Gio yang senyam-senyum menggulir ikon gagang telepon ke atas lalu merapatnya ke lubang telinga. Dia menutup laptopnya menjadi lipat dua, lekas berganti posisi telentang mengadap langit-langit.

"Ada apa, Imut?"

"Jangan imut. Cowok itu bukan imut tapi ganteng!" serudukan Langit.

Gio kekeh dangkal. Lekas dia teringat kejadian sekolah. "Beb?"

"Hmmm ...?"

"Kamu enggak apa-apa, 'kan?"

"Enggak ...,"

"Lagi apa?"

"Memandang kamu dari kejauhan."

"Emang bisa?"

"Bisa. Kamu bilang kan, kita selalu bersama?"

Gio senyum hambar.

"Beb,"

"Hmmm?"

"Aku kangen."

"Kalo kangen mau apa?"

"Aku mau tidur sama kamu. Di sini nyamuknya nakal. Aku diserang sama mereka. Suaranya kek pabrik."

Tak ada jawaban beberapa detik.

"Beb?"

".... Apa?"

"Kamu kenapa?"

"Enggak, kok. Hanya aku bingung."

"Bingung kenapa?"

"Apa tuhan tak sepenuhnya tak rela menjadikan aku sepenuhnya laki-laki?"

"Kok gitu?"

"Aku merasa bukan dia. Kau tak akan tahu diriku."

"Beb, aku ke rumah kamu, ya?!" Pinta Gio duduk tegap cemas.

"Buat apa ... jam menunjuk sebelas malam. Kamu enggak mau kan, ditimbuk emak?"

Gio terkekeh dangkal. "Jika berkenan kita ke batu! Akan aku tunjukkan hal indah di sana!" Bangun merangkul sweater hangatnya, berlalu menuruni anak tangga dengan telepon masih tersambung.

"Jangan lupa bawa selimut. Aku ingin sama kamu di sana, tidur lalu hilang." ucap Langit.

....

Langit duduk di lemari hitam yang pintu khusus gantungan bajunya dicopot hingga terbuka. Sengaja dia lakukan itu hanya ingin lemarinya seperti di TV.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang