BAB 51: RENGGANG

383 62 7
                                    

Gio berpikir jika malam itu merupakan malam terburuk. Dia tak mau mengingatnya kembali. Malam itu dianggap menyedihkan jika diingat-ingat. Jika diingat kian lama lalu beransur lebih dari satu bulan saja, itu sama saja Gio luput dalam sedih. Memalukan.

Saat ini pukul tujuh pagi lewat dua menit. Gio bersedia di pelataran akan sekolah. Ransel dan seragam putih abunya telah dikenakan.

Gio jalan pelan melirik sejenak rumah dua lantainya. Sunyi. Dan lengang. Hanya ibunya didalam seorang diri. Kakaknya tak ada sibuk kerja di metropolitan.

Gio jalan lagi lalu terhenti saat jambu air jatuh di kepalanya. Gio berhenti lekas memungut buah itu tergolek di lantai. Dia meniliknya. Lalu menggenggamnya kuat-kuat, jambu air itu hancur, airnya bercucuran.

Gio senyum seringai lalu membuangnya disembarang tempat.

Di tepi jalan, lalu berhenti di seberang. Mobil dan motor saling ngebut di jalan. Di dalam terisi siswa-siswi berseragam sama dan arahnya sama menuju sekolah.

Gio menatap kearah rumah Langit ditepi sana. Dia menunduk kepala sejenak lalu melanjutkan jalan itu.

Terasa asing. Terasa tak enak. Terasa hampa. Jalan sendiri dan rasanya aneh. Jika begini, kenapa Gio tak menumpangi motornya.

Gio berhenti, saat matanya menangkap seseorang sedang berjalan di depan. Seorang pria dan seragamnya sama. Dia mirip seseorang yang bersamanya.

Gio senyum lalu berucap," Langit!" seruan kegirangan.

Pria itu berhenti lalu membalikan badannya. Jauh dari harapan.

Bibir senyum hilang perlahan. Gio malu saat pria itu bukan Langit. Dia senyum disertai angukan maaf.

Upacara berlangsung. Siswa berbaris menutupi lapangan. Hening lalu diikuti lagu kebanggaan.

Gio lirik kanan kiri dirasa ada yang aneh. Dia menghitung siswa di lapang, berbisik. Lalu dia dia sadar akan apa yang dia lakukan.

Gio berbalik badan. Lalu melangkah ke belakang menuju Kinan.

Kinan berseragam kemeja seperti dulu kendati tim kesehatan.

"Kenapa, Gi?" ucap Kinan.

"Enggak. PMR semua adakan?"

"Langit enggak ada. Enggak tahu ke mana." Kinan mengedikkan bahu.

Gio menganguk lalu jalan menuju toilet. Dia duduk ditoilet, menyandar akan kesendirian dia di sana. Suara sayup siswa menyanyikan mars sekolah mengumandang. Gio mengikuti mars itu hingga selesai di dalam toilet sembari memejam mata.

Pelajaran Bahasa Indonesia. Beberapa kali Gio dibikin tak fokus. Dia lirik keseribu kali pada meja Langit yang kosong tak terisi.

Hanya Raka sedang merhatikan.

Jam istirahat sudah tiba. Gio masih enggan beranjak dari kursinya. Dia sibuk menyalin pelajaran matematika rumus jarak dari titik ke bidang.

"Bro, gue ke kantin, laperrr." Fahmi menepuk-nepuk tubuhnya seraya pergi bersama Zidan.

Gio melirik meja Langit. Masih kosong. Hanya Raka yang bercengkerama seru bersama Kinan dan Nurul ditemani makanan mereka.

Bagas dan Wulan di belakang. Keduanya ngakak menonton video entah apa.

Gio merasa hampa. Lalu dia memejam mata, menutup bukunya bergegas keluar tanpa menoleh atau bersahut pada Kinan.

Raka yang menghadap ke belakang mengobrol bersama Nurul, dia sejenak memutar kepalanya pada Gio yang baru berlewat.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang